Untuk yang terbaring merdeka
dirangkul sunyi nan abadi.
Baru kemarin rasanya aku mengeja isi pikiran yang engkau rangkai melalui tetes demi tetes.
Daya hidup, cinta dan kasih sayang bukan teori akademisi.
Engkau menyentuhnya dengan pena kejernihan sehingga mengalun bait-bait cinta yang menelusupi dinding keras batu-batu.
Engkau tidak menghardik tapi tersenyum mendidik. Jiwamu lentur lembut namun pilar-pilar keteguhanmu tegak menghujam bumi.
Burung kilatan cahaya bersayap Rahman dan Rahim melanglang angkasa, hinggap di halaman Rumah-Nya yang suci.
Ketika dikepung oleh berhala batu, Â engkau tidak menggunakan kapak Ibrahim untuk merobohkannya. Kelembutan hati Kinasihmu engkau bentangkan sepanjang cakrawala.
Siapa yang terjebak di sana akan tersipu lalu tertunduk malu. Berhala batu meleleh seperti lilin yang dibakar api rindu.
Tidak aku ucapkan bukan kematian benar menusuk kalbu seperti ucapan Chairil saat kehilangan nenek yang dicintainya.
Kematian bukan tragedi apalagi tangis sepanjang zaman tiada henti.
Engkau memasuki pintu keabadian, bersama cintamu yang membening di telaga Kautsar.