Selepas pulang sekolah, sekitar pukul sebelas siang, proses belajar dilanjutkan secara daring. Guru dan siswa bertemu secara virtual. Di sinilah persoalan pola belajar yang konvensional dan infrastruktur digital yang minim mengemuka.Â
Tidak serta-merta guru bisa langsung mengubah gaya mengajar. Pola pikir dan kebiasaan mengajar yang melekat selama bertahun-tahun memerlukan perjuangan dan kerja keras untuk mengubahnya.
Infrastruktur digital pun tidak bisa dipenuhi secara sulapan. Di tengah krisis pandemi anggaran pemerintah terkuras untuk menangani kesehatan masyarakat.
Di antara dua persoalan itu mana yang lebih mendasar? Persoalan tenaga pendidikan yang terjebak mindset lama ataukah fasilitas pendidikan yang minim dan belum merata?
Dua-duanya memang penting dan sekaligus jadi titik lemah pendidikan di tengah kondisi yang tidak menentu. Namun, kita bisa memulai langkah sederhana, misalnya merintis forum dialog internal bersama para guru.
Kepala sekolah memfasilitasi forum tersebut sebagai wadah para guru untuk "sekolah bersama", belajar bersama, bangkit bersama. Target utama adalah mengubah pola pikir konvensional menjadi pola pikir yang terbuka dan adaptif terhadap perubahan.Â
Peningkatan kompetensi bersama evaluasinya dilakukan antarguru. Tutorial sebaya memungkinkan para guru legowo belajar menerima kritik dan saran dari teman sejawat.
Wadah internal itu tak ubahnya forum silaturahmi bersama di mana setiap guru saling belajar, saling menguatkan dan saling menumbuhkan.
Senioritas dan yunioritas melebur dalam misi bersama untuk mewujudkan visi pembelajaran yang menyenangkan, menggairahkan dan memanusiakan.
Sayangnya, harapan itu tidak mudah diwujudkan. Selain terikat oleh formalisme kedinasan, sikap mental mencari aman dan nyaman di depan atasan kerap jadi mental block.
Tidak semua guru memang, namun ada satu atau dua orang saja yang memiliki mental block tersebut, biasanya ritme kekompakan akan kocar-kacir.