Silakan mau menjawab persoalan virus corona atau new normal menggunakan sila ke berapa dari Pancasila.
Dijawab pakai sila pertama monggo. Sila kedua oke. Sila ketiga dan keempat sekaligus tidak masalah. Atau langsung pakai jurus sila kelima ayo.
Lima dalam satu, satu dalam lima, itulah Pancasila.
Mendalami sila yang pertama pasti akan melibatkan sila kedua, ketiga, keempat dan kelima. Begitu pula menyelami sila kelima akan merangkul sila-sila lainnya.
Kita juga bisa memandang sila Pancasila melalui sudut pandang yang berbeda. Misalnya sudut pandang mana hulu mana hilir. Sila kelima adalah hilir, terminal akhir dari perjalanan keempat sila sebelumnya. Sedangkan hulunya adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Cara pandang hulu hilir bisa juga diganti dengan struktur pohon: akar, batang, ranting, daun, buah.
Sila pertama adalah akar di mana batang sila kedua, ranting sila ketiga, daun sila keempat dan buah sila kelima saling terkait.
Tersedia bermacam-macam terminologi untuk membedah Pancasila. Namun, penggunaan terminologi itu tidak dipakai untuk memecah keterpaduan dan keutuhan Pancasila.
Sila kelima merupakan output dari mekanisme kerja sila keempat. Dasar mekanismenya bertumpu pada nilai kerakyatan. Rakyat adalah pemilik sah negara ini. Mereka adalah juragan yang memberi mandat kepada para pejabat dan wakil rakyat.
Sumber nilai kepemimpinannya bertumpu pada hikmah dan kebijaksanaan melalui mekanisme musyawarah.
Mekanisme tersebut tidak akan berjalan apabila tidak diikat oleh persatuan Indonesia.
Untuk itu, rasa kemanusiaan: sama-sama manusia, berdiri sama tinggi duduk sama rendah, adil dan beradab menjadi modal untuk menjalin persatuan.
Sekat-sekat pembeda yang menghalangi hubungan kesetaraan antarmanusia lebur. Tidak ada yang merasa lebih kaya atau lebih miskin. Tidak ada yang merasa paling alim atau paling mblunat. Tidak ada suku yang lebih unggul dari suku lainnya.
Tidak ada yang menempatkan diri paling pintar atau paling bodoh. Semuanya lebur dalam kesetaraan sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.
Dialektika sebab akibat ini kerap tidak disadari sehingga sila Pancasila diperlakukan sebagai kepingan puzzle yang tidak saling mengikat.
Ketika kinerja komunikasi publik pemerintah menangani pandemi disoroti oleh berbagai pihak, hal ini bukan saja terkait dengan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Problem komunikasi publik itu merupakan kontinuasi dari akumulasi persoalan sila ketiga, sila kedua dan sila pertama, yang berakibat pada output keadilan sosial sila kelima.
Lemahnya komunikasi publik disebabkan aplikasi sila ketiga belum berjalan. Koordinasi antar pejabat silang sengkarut. Belum terikat dalam persatuan irama komunikasi untuk bersama-sama mengatasi pandemi.
Hal itu bisa disebabkan oleh kadar kemanusiaan yang kian menipis akibat ditindih oleh kepentingan politik, ekonomi dan kekuasaan. Para pejabat yang digaji rakyat kehilangan pertimbangan kemanusiaan sehingga akar kejujurannya rapuh.
Budaya korupsi merupakan tontonan paling telanjang manakala akal jernih dan logika sehat yang membedakan manusia dengan hewan tidak berlaku lagi.
Pada taraf yang sedemikian rendah manusia mengalami problem ketuhanan yang serius. Mungkin secara formal ia meyakini agama, namun secara substansial belum terbimbing. Pertimbangan untuk menentukan salah atau benar, baik atau buruk, indah atau tidak indah sangatlah pendek langkahnya.
Apa akibatnya? Baju keadilan sosial sila kelima dalam hal keselamatan dan kesehatan rakyat saat menghadapi pandemi jadi compang camping.
Hari Kelahiran Pancasila dapat dimaknai sebagai hari kelahiran cara berpikir. Atau dalam situasi yang kontekstual kekinian kelahiran itu direfleksikan sebagai new normal bagi cara berpikir yang utuh, padu, dan seimbang.
Setiap langkah keputusan dibimbing oleh kesadaran ketuhanan, kesetaraan kemanusiaan, kebersamaan persatuan, kepentingan kerakyatan dan kebahagiaan keadilan sosial.
Lima pilar itu mesti ditegakkan untuk menghadapi berbagai tantangan, mulai disintegrasi, pengetasan kemiskinan hingga persiapan memasuki pola hidup baru di tengah pandemi.
Sayangnya, setiap pilar dari lima sila Pancasila masih tersekat-sekat oleh sempitnya cara pandang dan kakunya sikap pandang.
Kaum agamawan berbicara sebatas konteks ketuhanan: surga, neraka, pahala dosa. Akibatnya, dimensi kemanusiaan kerap terabaikan.Â
Dakwah model takfiri adalah contoh kasus manakala benere dhewe mengalahkan rasa kemanusiaan.
Pejuang kemanusiaan pun kerap terjebak oleh bayangan primordialisme yang diciptakannya sendiri. Hendak menegakkan pilar kesetaraan kemanusiaan tapi merobohkan pilar kemanusiaan yang lain.
Tindakan persekusi adalah contoh nyata ketika primordialisme merobohkan bangunan akhlak dan fondasi ketuhanan.
Apalagi korupsi yang menjadi "identitas budaya" para pejabat. Perilaku ini merobohkan semua pilar Pancasila. Ambruk berkeping-keping.
Budaya nyolong bukan hanya melukai rasa keadilan sosial---bahkan secara terang-terangan ia menghina Tuhan.
Ndilalah, 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila bertepatan dengan momentum masyarakat memasuki new normal.Â
Berpegang Pancasila adalah menjadikan lima pilar sila sebagai panduan berpikir dan berbuat.
Apakah kebijakan, regulasi, keputusan serta perbuatan yang dikerjakan dalam skala pemerintahan, sosial atau individual sesuai dengan prinsip ketuhanan?Â
Selaras dengan rasa kemanusiaan? Membangun kebersamaan dalam persatuan?Â
Melalui proses musyawarah atau menjadi keputusan sepihak? Mengutamakan keadilan sosial atau kepentingan pribadi dan golongan?
Semoga bersama dengan hari lahirnya Pancasila kita menjadi manusia yang waras, tetap waras, dan semakin waras.
Kecuali yang tidak. []
Jagalan 300520
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H