Kaum agamawan berbicara sebatas konteks ketuhanan: surga, neraka, pahala dosa. Akibatnya, dimensi kemanusiaan kerap terabaikan.Â
Dakwah model takfiri adalah contoh kasus manakala benere dhewe mengalahkan rasa kemanusiaan.
Pejuang kemanusiaan pun kerap terjebak oleh bayangan primordialisme yang diciptakannya sendiri. Hendak menegakkan pilar kesetaraan kemanusiaan tapi merobohkan pilar kemanusiaan yang lain.
Tindakan persekusi adalah contoh nyata ketika primordialisme merobohkan bangunan akhlak dan fondasi ketuhanan.
Apalagi korupsi yang menjadi "identitas budaya" para pejabat. Perilaku ini merobohkan semua pilar Pancasila. Ambruk berkeping-keping.
Budaya nyolong bukan hanya melukai rasa keadilan sosial---bahkan secara terang-terangan ia menghina Tuhan.
Ndilalah, 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila bertepatan dengan momentum masyarakat memasuki new normal.Â
Berpegang Pancasila adalah menjadikan lima pilar sila sebagai panduan berpikir dan berbuat.
Apakah kebijakan, regulasi, keputusan serta perbuatan yang dikerjakan dalam skala pemerintahan, sosial atau individual sesuai dengan prinsip ketuhanan?Â
Selaras dengan rasa kemanusiaan? Membangun kebersamaan dalam persatuan?Â
Melalui proses musyawarah atau menjadi keputusan sepihak? Mengutamakan keadilan sosial atau kepentingan pribadi dan golongan?
Semoga bersama dengan hari lahirnya Pancasila kita menjadi manusia yang waras, tetap waras, dan semakin waras.