Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

#JanganCariPembenaranDulu Vs #JanganMudikDulu

21 Mei 2020   02:50 Diperbarui: 21 Mei 2020   03:07 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga menunjukkan masker kain yang didesain dengan tulisan Jangan Mudik sebelum dibagikan kepada masyarakat di Pekanbaru, Riau, Senin (11/5/2020). Kegiatan ini sebagai bentuk imbauan kepada masyarakat agar tidak melakukan perjalanan atau mudik pada tahun 2020 ini dalam upaya antisipasi dan pencegahan penularan virus Corona. Sumber: KOMPAS.com/ANTARA FOTO/Rony Muharrman

Sebaiknya dan memang lebih baik #JanganMudikDulu. Apa sebab?

Ada banyak bukti menunjukkan pergerakan orang terinfeksi virus corona dari kota zona merah menuju ke tempat lain, di mana pun itu, baik pergerakan antarkota apalagi ke desa, mau jalan kaki, naik motor, mobil, truk, pesawat, kapal laut, bisa mempercepat penyebaran itu virus.

Kita memang harus berpuasa: puasa mobilitas, mengurangi bepergian, alias lebih sering berdiam di rumah.

Namun, semuanya ada pengecualian. Nah ini yang bikin repot. Setiap orang memiliki tafsir pengecualian sesuai pembenaran yang dibenar-benarkannya sendiri.

"Saya akan tinggal di rumah, kecuali saat harus pergi bekerja."

"Saya siap melaksanakan anjuran di rumah saja, kecuali saat harus berjualan ke pasar."

"Di rumah saja? Tidak masalah, kecuali semua orang dan semua aktivitas berhenti total."

"Saya pun ikhlas tidak mudik, kecuali saya tidak kena PHK."

"Berapa pun lamanya tinggal di rumah, saya sih oke-oke saja, kecuali pemerintah memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya."

Siapa yang salah? Tidak ada yang salah. Semua benar menurut konteks latar belakang masing-masing. Pemerintah, pejabat, tenaga kesehatan, pemegang otoritas keagamaan, masyarakat merasa benar atas setiap keputusan yang diambilnya.

Masing-masing memiliki logika pembenaran. Akibatnya, pembenaran yang dianggap kebenaran itu bisa saling bertabrakan.

Pemerintah dan pejabat tak habis-habisnya mengimbau. Kebijakan, regulasi, larangan sudah disampaikan. Masyarakat mbok manut. Ini untuk kebaikan, kesehatan dan keselamatan bersama.

Tenaga kesehatan sebagai ujung terdepan siap mengabdikan diri. Mereka berhadapan langsung dengan pasien. Pemerintah dan masyarakat harus konsisten. Apa gantian saja: kami di rumah, Anda menangani pasien di rumah sakit?

Masyarakat pun ikut bersuara. Kami harus tetap bekerja agar dapur tetap ngebul. Kami mengerti virus corona itu katanya berbahaya. Tapi bagaimana lagi, anak dan istri butuh makan. Kami baru saja di-PHK.

Ulama dan agamawan tak henti-hentinya berfatwa. Ibadah di rumah dalam situasi pandemi lebih afdlol daripada dijalankan di rumah ibadah.

Benar melawan benar. Pembenaran berhadapan muka dengan pembenaran.

Lalu, terjadilah anomali pergerakan sosial ekonomi di tengah pandemi. Bandara yang semula lengang, mendadak dipadati calon penumpang. Tidak hendak mudik tapi mau pulang kampung.

Baru satu hari Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibagikan, esok hari masyarakat menyerbu tempat perbelanjaan, mborong entah apa saja, yang katanya demi persiapan menyambut lebaran.

Dan jumlah kasus terinfeksi di Jawa Timur naik tajam. Semua kota menjadi zona merah. Kabupaten Jombang yang semula adem-ayem "hanya" enam kasus positif melejit jadi dua puluh tujuh terkonfirmasi positif.

Hanya kecamatan Bareng, Megaluh dan Plandaan yang dinyatakan sebagai zona putih. Kec. Jombang kota secara kumulatif ada 72 ODP, 69 ODP selesai pemantauan, 4 positif.

Jadi, sebaiknya #JanganMudikDulu. Apa sebab?

Hanya dalam waktu dua minggu setelah pemerintah mengumumkan kasus terkonfirmasi yang pertama di Depok, Jawa Barat, pada 2 Maret 2020, klaster dari Bogor menyebar ke Solo, Yogyakarta, Bandar Lampung, Samarinda dan Batam.

Penambahan jumlah kasus tak terbendung. Virus corona menyebar begitu cepat di tujuh pulau, 34 provinsi, dan 214 kabupaten/kota. Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) baru diberlakukan di dua provinsi serta 15 kabupaten dan kota setelah tujuh minggu sejak kasus pertama.

Karena itu, sebaiknya #JanganMudikDulu. Apa sebab?

Kendati pemerintah menunjukkan sikap bahwa menjaga kestabilan ekonomi lebih penting dari kesehatan warganya hal ini tidak berarti mudik boleh jalan terus.

Apakah ini termasuk kebijakan populis yang mengandung bias optimis, ambigu dan anti-sains? Silakan dipelajari secara adil dan bijaksana.

Namun, mengapa kita tidak belajar dari situasi pandemi flu Spanyol tahun 1918-1919 di Amerika? Massachusetts Institute of Technology (MIT) melakukan riset tentang kebijakan yang tepat guna menanggulangi Covid-19.

Riset tersebut merujuk situasi pandemi flu Spanyol dan menemukan, pada 1918 saat pandemi flu melanda AS, kota-kota yang memprioritaskan kesehatan masyarakat mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Sebaliknya, kota yang memprioritaskan ekonomi justru mengalami perlambatan ekonomi.

Buah simalakama ya? Memang, tapi sebaiknya #JanganMudikDulu.

Kalau pun sangat-sangat terpaksa memprioritaskan ekonomi, selain melarang mudik lebaran, pengawasan yang super ketat harus dilakukan terutama di pintu masuk setiap kabupaten/kota.

Lebih dari itu, pengawasan dan kontrol yang ketat harus dilakukan di bandara dan pelabuhan. Pasalnya, pada 2018 lalu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 100 juta penumpang melakukan perjalanan udara dan 20 juta penumpang menempuh perjalanan lewat laut.

Mobilitas yang tinggi antar pulau ini tidak cukup diimbau: sebaiknya #JanganMudikDulu, walaupun memang sebaiknya #JanganMudikDulu.

Bagaimana mengantisipasi 3,79 juta orang yang akan meninggalkan Jabodetabek untuk mudik lebaran, seperti survei yang dirilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Resiliensi dan Perilaku Sosial untuk Penanganan COVID-19?

Apakah cukup hanya dengan imbauan dan larangan sebaiknya #JanganMudikDulu walaupun memang  sebaiknya #JanganMudikDulu?

Bagaimana dengan 38% orang yang menurut Survei Resiliensi akan berangkat menuju Jawa Tengah, 33% ke Jawa Barat, dan sekitar 21% akan ke Banten, Yogyakarta dan Jawa Timur?

Padahal, masih menurut Survei Resiliensi, ada sekitar 735 ribu orang akan tetap mudik meskipun telah dibatasi ruang geraknya dan disiapkan "ancaman" isolasi 14 hari saat tiba di lokasi?

Tampaknya imbauan sebaiknya #JanganMudikDulu perlu terus digencarkan, ditegaskan, ditegakkan oleh semua pihak meskipun memang sebaiknya #JanganMudikDulu.

Kita perlu merumuskan kebijakan yang tidak hanya tepat sasaran, tapi juga tepat guna dan tepat prioritas.

Prioritas utama adalah menjaga kesehatan masyarakat dengan tidak sekadar mengimbauan sebaiknya #JanganMudikDulu. Betapa pun sulitnya, tantangan ini harus dilalui secara kompak dan terpadu.

Untuk sementara waktu menyelamatkan ekonomi jadi prioritas berikutnya. Kita tidak ingin menabung kerugian di kemudian hari akibat salah menentukan prioritas.

Bagaimana, masih ingin mudik? Sebaiknya #JanganCariPembenaranDulu demi menemukan alasan mudik karena memang sebaiknya #JanganMudikDulu.[]

Jagalan, 210520

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun