Pemerintah dan pejabat tak habis-habisnya mengimbau. Kebijakan, regulasi, larangan sudah disampaikan. Masyarakat mbok manut. Ini untuk kebaikan, kesehatan dan keselamatan bersama.
Tenaga kesehatan sebagai ujung terdepan siap mengabdikan diri. Mereka berhadapan langsung dengan pasien. Pemerintah dan masyarakat harus konsisten. Apa gantian saja: kami di rumah, Anda menangani pasien di rumah sakit?
Masyarakat pun ikut bersuara. Kami harus tetap bekerja agar dapur tetap ngebul. Kami mengerti virus corona itu katanya berbahaya. Tapi bagaimana lagi, anak dan istri butuh makan. Kami baru saja di-PHK.
Ulama dan agamawan tak henti-hentinya berfatwa. Ibadah di rumah dalam situasi pandemi lebih afdlol daripada dijalankan di rumah ibadah.
Benar melawan benar. Pembenaran berhadapan muka dengan pembenaran.
Lalu, terjadilah anomali pergerakan sosial ekonomi di tengah pandemi. Bandara yang semula lengang, mendadak dipadati calon penumpang. Tidak hendak mudik tapi mau pulang kampung.
Baru satu hari Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibagikan, esok hari masyarakat menyerbu tempat perbelanjaan, mborong entah apa saja, yang katanya demi persiapan menyambut lebaran.
Dan jumlah kasus terinfeksi di Jawa Timur naik tajam. Semua kota menjadi zona merah. Kabupaten Jombang yang semula adem-ayem "hanya" enam kasus positif melejit jadi dua puluh tujuh terkonfirmasi positif.
Hanya kecamatan Bareng, Megaluh dan Plandaan yang dinyatakan sebagai zona putih. Kec. Jombang kota secara kumulatif ada 72 ODP, 69 ODP selesai pemantauan, 4 positif.
Jadi, sebaiknya #JanganMudikDulu. Apa sebab?
Hanya dalam waktu dua minggu setelah pemerintah mengumumkan kasus terkonfirmasi yang pertama di Depok, Jawa Barat, pada 2 Maret 2020, klaster dari Bogor menyebar ke Solo, Yogyakarta, Bandar Lampung, Samarinda dan Batam.