Apa yang nomor satu dalam hidupmu? Pertanyaan ini mengusik batin Waskito setelah semalam bertamu ke rumahnya anak-anak muda, yang apabila jumlahnya sepuluh saja, kata Bung Karno, bisa dipakai untuk mengguncang dunia.
Sayangnya, sekaligus untungnya, anak-anak muda ini bukan seperti yang digambarkan Bung Karno. Mereka anak muda biasa saja seperti anak muda kampung pada umumnya. Pekerjaan mereka macam-macam. Ada yang jualan jamu, makelar burung, jaga parkir toko.
Membandingkan mereka dengan citra ideal generasi milenial bukan ukurannya. Inilah keuntungan Waskito: anak-anak muda itu tidak bicara muluk-muluk. Gagasannya sederhana. Cara berpikirnya polos. Jadi enak buat teman ngobrol dan diskusi.
Merekalah yang menginisiatifi beberapa gerakan bersama sejak corona menghantui warga. Sebagai teman diskusi Waskito lebih banyak mendengarkan ketimbang menggelontorkan gagasannya sendiri.
"Pokoknya demi manfaat bersama kami siap mengerjakannya," ucap seorang di antara mereka.
"Siap bagaimana?" tanya Waskito balik.
"Maksudnya, teman-teman ini sanggup bekerja demi kebaikan kita bersama. Mudah-mudahan ada tidak alasan apalagi pamrih ini dan itu."
Bagi teman-teman Waskito, berbuat baik karena yakin hal itu memang baik dikerjakan, menjadi pertimbangan nomor satu. Selebihnya, kebaikan itu mari digotong bareng-bareng.
Sejak diskusi usai, pikiran Waskito kembali terusik oleh pertanyaan, apa yang nomor satu dalam hidupmu? Celakanya, pikiran Waskito semakin liar. Sebutkan satu saja perilaku dalam hidupmu yang tidak tersesat. Waduh, modar dia.
Diam-diam Waskito merasa kecut memandang dirinya. Saat berbuka puasa gampang sekali ia tersesat ke wilayah kolesterol. Suka makan enak yang belum tentu "enak" buat kesehatan. Waskito sadar, ia dirasuki budaya kuliner.
Puasa menjadi metode untuk kembali ke jalan yang lurus. Bukan aktivitas makan yang dibenci dan tersesat.