Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Ayo Dihabiskan, Nanti Nasinya Menangis!"

2 Mei 2020   20:21 Diperbarui: 2 Mei 2020   20:27 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tulisan sebelumnya, Ramuan Tradisional yang (Masih) Dipandang Sebelah Mata, saya memandang sebaiknya kita tidak latah memitos-mitoskan wejangan mbah buyut.

Pikiran boleh maju dan bergerak secapat kilat. Peradaban silakan mencapai cakrawala supra-supra modern. Revolusi teknologi informasi monggo melesat hingga 4.0, 5.0, 10.0, 212.0. 

Namun, menjadi diri sendiri beserta akar kesadaran budaya harus dijaga dan dipertahankan.

Yang Jawa silakan menjadi manusia Jawa. Bugis bertahanlah pada akar manusia Bugis. Madura jangan bergeser menjadi manusia bukan Madura.

Akar sejarah dan budaya itu mengandung kosmos kesadaran yang hakiki. Ia berangkat dari kasus lokal namun kesadarannya bersifat universal.

Kita ambil satu kasus: ketika peradaban modern pusing oleh 60 persen tumpukan sampah makanan di Surabaya dan Bogor, mbah buyut kita telah mengajarkan sikap arif terhadap makanan. "Ayo dihabiskan, nanti nasinya menangis." Kearifan berskala lokal namun kosmos kesadarannya bersifat universal.

Prinsip wejangan "nasi menangis" ini sungguh sederhana. Pertama, kenali daya tampung lambung dalam perutmu. Bisa jadi setiap orang daya tampung lambungnya berbeda. Namun, rata-rata orang akan menggeh-menggeh setelah menghabiskan dua piring penuh nasi bersama lauk pauknya.

Jadi, ambil makanan sesuai daya tampung lambung. Tidak kurang tidak lebih. Anjuran makan ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang, patut diterapkan.

Kedua, kalau mengenal daya tampung perut sendiri tidak akurat, bagaimana kita mampu memimpin diri sendiri? Kalau dalam urusan makan kita gagal memimpin diri sendiri, bagaimana kita bisa memimpin orang lain dan merasakan penderitaannya?

Hal itu bukan hanya terkait dengan sedikit atau banyaknya makanan yang kita timbun di dalam perut. Kepemimpinan "nasi menangis" ini memiliki kontinuasi dengan ketangguhan seseorang berperang melawan hawa nafsunya.

Kebutuhan lambung dan organ tubuh ada batasnya. Sedangkan keinginan manusia tidak ada batasnya. Pada koordinat inilah seseorang mengalami ujian. Apakah ia lebih "rasional" dibandingkan ular piton yang sanggup berpuasa karena belum waktunya makan?

Ketiga, panic buying, kalap makan, menimbun bahan pangan atau sejumlah tindakan irasional itu pada dasarnya adalah akibat dari sebab kebudayaan yang serba melampiaskan ketimbang mengerem. Peradaban manusia, katakanlah sejak revolusi industri hingga hari ini adalah peradaban ngegas alias tancap gas.

Yang berkuasa ngegas terus agar terus berkuasa. Yang kaya ngegas terus supaya terus kaya. Yang korupsi ngegas terus biar terus bisa korupsi. 

Yang punya modal finansial menimbun bahan pangan demi mengatasi ketakutan tidak bisa makan esok hari. Yang sedang menyantap makanan juga ikut ngegas mumpung lagi dapat jatah makan gratis.

Kita bisa mendaftari amat sangat banyak perilaku ngegas dalam hidup keseharian. Bahkan, kini, telah tersedia arena balapan agar pengguna bisa ngegas sepuasnya. Media sosial adalah ajang balapan untuk adu kekuatan ngegas.

Jadi, panic buying dan kalap makan bukan perilaku sesaat yang dikerjakan dalam waktu singkat. Di dalamnya terkandung kompleksitas sistem nilai kebudayaan bahkan peradaban.

Terjadi perubahan cukup signifikan dalam sistem nilai kebudayaan yang mengubah pola belanja dan konsumsi makanan akibat industrialisasi, urbanisasi, konsumerisme, serta pertumbuhan populasi ekonomi kelas menengah.

Kita tengah berada di tengah atmosfer zaman yang melakukan yuwaswisu melalui iklan, promosi, diskon, potongan harga, "beli satu dapat dua". 

Pokoknya, kita didorong belanja sebanyak-banyaknya. Perkara barang belanjaan itu dibutuhkan benar ataukah tidak itu pertimbangan nomor dua puluh tujuh.

Ringkas cerita, bicara tentang panic buying dan kalap makan akan beririsan pula dengan kian gencarnya pembukaan supermarket dan kian redupnya pasar tradisional. 

Sampah makanan yang kian menumpuk dan berkontribusi terhadap pemanasan global. Sampah yang membusuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ternyata menghasilkan gas metan 25 kali lebih berbahaya dibandingkan karbon dioksida.

Puasa sebagai salah satu metode yang mengajari kita cara "makan yang sejati" belum cukup ampuh mengubah perilaku ngegas. Puasa itu kan dari shubuh hingga maghrib. Selepas maghrib kita kembali kepada kebiasaan asli kita.

Dalam hati kita bergumam, "Ah, nasi yang tidak dihabiskan bisa menangis itu mitos."  

Baiklah, yang tidak mitos adalah ketika nafsu ngegas tiba-tiba direm secara sangat mendadak oleh coronavirus.[]

Jagalan, 020520

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun