Sejarah bukan melulu tentang masa lalu. Setiap jejak langkah yang tertinggal dan cakrawala yang membentang adalah sejarah. Hari ini, sejarah dimulai---setiap saat, setiap detik.
Malam itu Popong menatap langit. Sejak sore mendung mengambang pekat. Tidak dijumpainya bintang-bintang di langit. Padahal, adzan Isya baru saja terdengar. Malam yang gelap. Langit yang murung.
Laki-laki berambut gondrong itu masih berdiri di teras mushola. Kenangan masa kecil berkelebatan. Ini mushola, yang kini telah direhab menjadi model arsitek modern, tidak menyurutkan getaran kenangan masa lalunya.
![Suasana mushola Al-Fath usai adzan shalat Shubuh. Foto: Dok. Pribadi/ASS](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/30/img-20200430-042311-5eaacf67097f361b067027e2.jpg?t=o&v=770)
Dahulu, Popong bersama teman-temannya kerap mandi sore di sumur itu. Bergantian menimba air, lalu diguyurkan kepala teman yang jongkok di bawah.
Mushola itu kini berganti nama menjadi Al-Fath. Nama ini diambil dari H. Fatah, orang yang ngopeni mushola Al-Rahman selama puluhan tahun. Sepeninggal H. Fatah mushola dibenahi sehingga jamaah lebih nyaman melaksanakan ibadah shalat di sana.
![Suasana mushola Al-Fath usai adzan shalat Shubuh. Foto: Dok. Pribadi/ASS](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/30/img-20200430-042507-5eaad023097f363eb51b0d05.jpg?t=o&v=770)
Popong tercenung. Bulan Ramadan tahun ini sungguh berbeda dengan tahun sebelumnya. Popong tidak hendak mengeluh atau menyalahkan siapa pun. Namun, ada yang musykil di hatinya. Jamaah shalat  ditata dengan shaf yang berjarak. Setiap orang membawa sajadah. Jumlah rakaat shalat tarawih dan witir pun disepakati cukup sebelas rakaat.
Dalam situasi pandemi Covid-19 orang-orang tidak lagi berdebat tentang bilangan rakaat shalat tarawih menurut "madzhab" NU atau Muhammadiyah. Jamaah mushola Al-Fath yang dikenal sebagai orang-orang NU, kini, tarawih dan witir sebelas rakaat sebagaimana orang-orang Muhammadiyah.
![Tetap jaga jarak, berwudlu di rumah, membawa sajadah adalah upaya memenuhi standar kesehatan di tengah pandemi Covid-19. Foto: Dok. Pribadi/ASS](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/30/img-20200430-042830-1-5eaad1d3097f3632ae5a3492.jpg?t=o&v=770)
Kekonyolan atau---maaf---kebodohan semacam itu tidak perlu diteruskan. Selain capek dan menguras tenaga, dalam situasi dikepung pandemi, lebih baik mengajak masyarakat bersatu, kompak, rukun dan guyub dalam jamaah kebersamaan.