Kita boleh menyebut rangkaian peristiwa sebagai kebetulan. Namun, ia tidak benar-benar "bersifat" kebetulan karena terjadi begitu saja. Ia adalah kebenaran. Sedangkan pemilik kebenaran adalah Tuhan itu sendiri. Maka, peristiwa yang kita sebut sebagai kebetulan, sesungguhnya dimuati oleh kebenaran. Tuhan sengaja menciptakan momentum demi momentum yang berisi kebetulan dan kebenaran dalam hidup ini.
Ringkas kata, Tuhan menyapa hamba-hamba-Nya melalui momentum peristiwa yang dimuati oleh kebetulan dan kebenaran.
Apapun peristiwa yang kita hadapi: sedih atau gembira, susah atau bahagia, nikmat atau musibah, sejatinya tidak berlangsung begitu saja. Kejadian itu dihadirkan Tuhan agar kita membalas kembali sapaan-Nya.
Dalam konteks dialektika semacam itu, kita menggali hikmah peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad. Isra' adalah perjalanan horizontal menyibak "cakrawala kebetulan". Sedangkan Mi'raj adalah perjalanan vertikal menembus "lapisan kebenaran".
Menyibak "cakrawala kebetulan" itu maksudnya kita memperlakukan realitas, fakta, kejadian, peristiwa secara apa adanya. Tanpa ambisi "udang di balik batu". 3+2 = 5 adalah kebetulan dalam dimensi horizontal.
Adapun menembus "lapisan kebenaran" adalah kejernihan kita memaknai setiap peristiwa. Makna tertinggi adalah manakala kita memiliki kesadaran bahwa Tuhan punya maksud menciptakan setiap momentum. Tugas kita adalah menjawab amr atau perintah-Nya: "Aku punya maksud menciptakan semua momentum itu? Temukan ia!" Demikian kira-kira bahasa "budaya" atas pertanyaan Tuhan.
Kita pun tersungkur dalam sujud karena apa pun yang Dia ciptakan ternyata tidak ada yang sia-sia. Semuanya memiliki makna kebenaran. Semuanya bermanfaat untuk hidup dan kehidupan kita.
Tahun Covid-19
Jujur kita mengakui tengah dibuat kalang kabut oleh makhluk tak kasat mata. Yang kecil, yang tak terlihat, yang begitu lembut ternyata bukan berarti tidak ada. Ia sangat bisa mengada, bahkan adanya melebihi ada menurut persepsi indera kita.
Dan memang demikianlah "blueprint" kebudayaan atau bahkan peradaban kita. Mengandalkan yang kasat mata, yang wadag, yang megah menjulang, yang mencolok---yang semua itu diparameteri oleh ukuran-ukuran dangkal materialisme. Yang serba kasat mata, pada akhirnya, diseimbangkan kembali oleh yang tidak kasat mata.
Pada tahun kesedihan ini, tahun Covid-19, kita memerlukan tenaga batin untuk menjalani Mi'raj. Kita bisa memulainya dengan menjawab pertanyaan: apa maksud Tuhan menggiring kita ke tengah situasi seperti ini? Apakah semua ini hanya kebetulan?[]