Ketika saya menulis tulisan ini, Jum'at (13/3/2020), dilaporkan kasus Covid-19 melonjak menjadi 69. Empat orang meninggal. Terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat dari 34 kasus sebelumnya.
Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global. Masihkah imbauan dari pemerintah agar masyarakat bersikap tenang dan tidak panik tetap relevan? Ataukah, yang dibutuhkan adalah sikap waspada di tengah informasi yang masih saja bercampur dengan berita bohong?
Infodemics semacam itu sepertinya menjadi "keniscayaan" ketika kanal berita dan akses media sosial berada di genggaman tangan setiap orang. Namun, tidak adakah "sisi baik" atau "cara pandang positif" untuk menyikapi pandemi global ini?
Perang yang memakan jutaan korban, baik korban yang masih hidup maupun yang meninggal, tidak serta-merta mengubah pola hidup apalagi cara berpikir manusia.
Ancaman iklim global, bencana kekeringan, tragedi kelaparan, pembunuhan massal, aksi kejahatan terorisme belum meluluhkan hati manusia. Lebih dari itu, sikap serakah yang memicu kejahatan kemanusiaan menjadi perilaku keseharian.Â
Adegan ini bisa kita cermati mulai lingkup individual, komunal hingga lingkungan yang memegang kekuasaan.
Corona---ada yang memplesetkannya sebagai Qorun---menghadirkan cermin besar betapa manusia tidak pernah kenyang oleh kerakusan dan keserakahan.
Alam pun menghadirkan "trigger" untuk menata kembali tata kelola kehidupan. Virus Covid-19 tengah menjalankan tugasnya menyeimbangkan hidup manusia di seluruh dunia.
Seiring dengan waktu yang terus mengejar, para ahli di bidang kesehatan berlomba menemukan "penawarnya". Namun, Covid-19 lebih dari sekadar persoalan medis kesehatan.Â
Ia memaksa manusia di seluruh dunia mengubah perilakunya: mengubah pola hidup, pola komunikasi, pola konsumsi serta sejumlah kebiasaan mendasar lainnya.
Covid-19 selain menguji daya tahan kesehatan, juga menguji kewarasan manusia seluruh dunia.