Manusia yang sehat belum tentu waras. Secara fisik ia bisa terlihat sehat, segar bugar, namun belum tentu waras. Kewarasan ditentukan oleh sejauh apa manusia menjaga dirinya agar sehat dan seimbang antara jasmani dan rohani, akal dan hati, pikiran dan perasaan.
Sayangnya, yang kita utamakan adalah sehat fisik, tampilan jasmani, penampilan luar---seraya mengesampingkan nilai-nilai batiniah atau rohaniah. Seorang koruptor yang rakus dan mencuri uang rakyat adalah manusia yang sehat jasmaninya namun sangat tidak waras mentalnya.
Kewarasan kita juga kerap diuji, misalnya ketika memilih menu makanan. Yang kita pilih biasanya adalah makanan yang enak. Tidak salah, karena kewarasan kita sering diganggu oleh budaya kuliner.Â
Budaya ini hanya memiliki dua pilihan: makanan enak dan tidak enak. Mumpung badan lagi "sehat" yang dikonsumsi adalah makanan dan minuman yang enak-enak.
Budaya kuliner itu bahkan menyentuh perilaku paling ekstrem. Orang Jawa menyebutnya wal geduwal kabeh diuntal. Tidak peduli apa saja, semuanya dimakan. Kita pun bertekuk lutut pada budaya makanan dan minuman "kekinian".
Manusia makan cukup dengan satu pertimbangan saja: yang penting enak.
Badan manusia jadi ringkih, gamoh, atau dalam bahasa Jawa disebut ngkrik-ngkriken alias gampang sakit dan ambruk.
Di saat manusia modern menggandrungi masakan kekinian, tiba-tiba---seperti dibangunkan dari tidur panjang, kini, mereka beramai-ramai memborong "ramuan ajaib". Jahe, kencur, kunir, bahan empon-empon harganya pun melangit.
Pola hidup, pola konsumsi, pola pergaulan sosial, yang selama ini dijalankan secara baik-baik saja, ternyata tidak semuanya baik-baik saja.
Yang mengherankan, di tengah gemah lipah loh jinawi hasil bumi di tanah Nusantara ini, 96% penduduknya tidak makan sayur dan buah secara cukup. Riset Kesehatan Dasar RI Tahun 2018 mencatat hal itu.
Rajin mencuci tangan, menutup mulut saat batuk atau bersin, mengonsumsi sayur dan buah masih dianggap perilaku yang sepele. Terhadap kebiasaan baik yang mendasar seperti itu, kita memang menyepelekannya.