Fenomena kerajaan fiktif. Sebentar, sebentar, ada yang perlu "diluruskan". Fiktif bagaimana? Kerajaan Agung Sejagat punya Bapak Raja dan Ibu Ratu. Ada pasukannya. Memiliki abdi ndalem. Seragam resmi kerajaan pun mereka punya. Bahkan singgasana kerajaan meski disetting ala kadarnya, cukup lumayan untuk menampilkan performa seorang Raja dan Ratu.
Kerajaan Agung Sejagat. Namanya saja bisa membuat lawan keder. Tidak ada yang lebih agung selain Kerajaan Agung Sejagat itu sendiri.
Mengapa tidak diberi nama, misalnya, Kerajaan Agung Sedunia? Atau bernama lokal, Kerajaan Agung Se-Jateng (Jawa Tengah). Apalagi memakai skala nasional: Kerajaan Agung Se-Indonesia. Pilihan kata "jagat" itu mencakup dunia, bumi, alam. Artinya, kerajaan ini mengatasi segala lapisan alam hingga ruang-ruang terlembut yang mustahil dijangkau oleh pikiran manusia modern. Pemilihan nama ini mencerminkan totalitas, kepasrahan, keteguhan visi, misi, tujuan yang melampaui zamannya.
Bahkan berbohong pun memerlukan totalitas dan kesungguhan.
Yang patut diwaspadai, mengapa tiba-tiba kita merasa tidak nyaman dengan kata "kerajaan"? Apakah karena Kerajaan Agung Sejagat, Kerajaan Jipang, Kerajaan Sunda Empire atau kerajaan fiktif lain yang belum viral, didirikan oleh orang biasa? Karena pengikutnya juga orang-orang biasa yang kurang berpendidikan? Atau karena penipuan ini dilakukan secara "jujur", lugu dan telanjang?
Kita bisa menyelami dimensi sosial, kultural, politik serta lapisan-lapisan psikologis hingga ke wilayah yang samar-samar dan misterius. Fakta bahwa Toto dikeluarkan dari Kerajaan Sunda Empire bisa jadi merupakan titik balik untuk mendirikan kerajaan yang lebih besar, kuat, dan agung.
Itu perilaku emosi yang jamak dijumpai. Ketika seseorang dipecat dari pekerjaan, entah karena ada friksi antar sesama pekerja, atau akibat dari fitnah, atau efek dari sikap kritis seseorang---pilihannya ada dua: putus asa lalu bunuh diri atau bangkit membuktikan diri. Persoalan selanjutnya, ia memilih jalan dan cara bagaimana untuk menunjukkan martabat dan harga dirinya.
Namun, hulu hilirnya toh berawal dan bermuara pada urusan perut. Rakyat sedang lapar---lapar perut, lapar akal sehat, lapar kesejahteraan, lapar keadilan. Hal semacam ini ternyata mendorong lahirnya "ratu adil" bagi sebagian rakyat (atau mungkin mayoritas) yang merindukan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Satrio piningit, ratu adil, pangeran yang muncul dari balik cakrawala menjadi komoditas dan iming-iming yang melumpuhkan nalar sehat di tengah situasi lapar kemanusiaan. Padahal, janji-janji politik adalah penampakan pangeran dalam rupa yang lain, baik yang dibranding sebagai Bapak Satrio Piningit atau Ibu Ratu Adil.
Mestinya, Toto Santoso dan Fanni Aminadia tidak perlu menggunakan simbol-simbol resmi kerajaan. Pelajari saja bagaimana "kerajaan" partai politik di negeri ini berlangsung. Ambil dan adaptasi mekanisme sistemnya, jalur kebijakannya, tali temali kekuasaannya, restu senyumannya.
Bukankah koruptor memiliki kesan lebih terhormat dari maling ayam?[]