Kali ini simulasi yang saya ajukan sederhana saja. Mari duduk di warung, mari pesan minuman. Saya request kopi hitam. Tiga teman yang lain memesan teh hangat, es campur dan kopi susu.
Apakah keempat orang, termasuk saya, merasakan bahagia saat menikmati minuman yang dipesannya?
Jawabannya, bisa ya bisa tidak. Lho kok ndak tentu, bagaimana?
Semuanya bergantung pada sikap kita masing-masing. Sedetik kemudian, kawan di sebelah saya mengatakan, teh yang diminum adalah teh dengan rasa spesial. Rasanya enak, katanya. Selera saya bergeser.
Saya jadi kepingin menikmati teh tersebut. Lebih dari itu, saya menyesal karena tidak memesan teh. Kopi di depan saya jadi tidak menarik lagi. Saya kehilangan selera.
Kebahagiaan yang saya rasakan dari secangkir kopi hilang, diganti rasa penasaran sekaligus penyesalan.
Padahal, jenis minuman bukan hanya kopi dan teh. Ada ratusan atau mungkin ribuan jenis minuman di sekitar kita. Apa jadinya kalau kita ingin minum semuanya dalam waktu yang bersamaan?
Saya sadar dengan pilihan saya. Namun demikian, hal ini belum tentu melanggengkan kebahagiaan yang saya inginkan. Pasalnya, segelas teh spesial menawarkan kenikmatan yang lain.
Kita tidak mungkin dan tidak akan bisa mendapatkan sekaligus menikmati segalanya. Bukan hanya relatif, kebahagiaan yang selama ini kita dambakan ternyata juga sangat terbatas.
Seseorang yang menghabiskan hari untuk mengejar karir tidak bisa merasakan nikmatnya jagongan bersama tetangga di kampung. Sebagaimana orang yang menikmati kopi hitam, pada momentum yang sama, tidak bisa merasakan teh hangat spesial.
Siapa yang membatasi kebahagiaan itu? Adalah diri kita sebagai manusia yang sejatinya penuh keterbatasan. Kendati demikian, kebahagiaan tetaplah bisa dirasakan dan dinikmati.