Saat mengawali tulisan ini saya baru sadar, ternyata sudah lima tahun lebih saat primetime televisi di rumah tidak pernah menyala.
Apa sebab? Sinetron dan hiburan selama primetime tidak atau belum menjadi tontonan yang menyehatkan. Tidak menonton pun tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan saya bisa meminimalkan polusi suara akibat televisi yang terus menyala.
Saya sendiri juga jarang menonton berita dari siaran televisi. Selain televisi bukan sumber informasi utama, saya lebih nyaman menyaksikan berita atau breaking news melalui channel online. Demi menghemat kuota internet membuat saya menyerap informasi secukupnya saja.
Peran Keluarga
Kita tidak menyerahkan sepenuhnya sensor dan blokir tayangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia. Sensor yang utama dan blokir yang efektif terhadap tayangan televisi terletak pada kontrol kebijakan keluarga.
Menyeleksi informasi yang ditayangkan televisi ataupun media online adalah filter untuk mengatasi banjir informasi. Permasalahannya, apakah keluarga sebagai institusi terkecil dari pendidikan telah mengambil peran secara optimal?
Kita bisa menuding bahwa literasi media di Indonesia masih rendah. Publik belum melek media, sehingga mereka dianggap belum mampu bertindak rasional dan memilih konten sesuai kebutuhan. KPI sebagai penjaga gawang konten dan tayangan belum tergantikan.
Beberapa waktu lalu, gonjang-ganjing KPI yang akan mengawasi konten Netflix dan YouTube pun menuai pro dan kontra.
Otoritas KPI sebagai penyusun dan pengawas berbagai peraturan penyiaran sering kabur. Bahkan publik menilai KPI berkinerja buruk. Belum lagi menghitung proses rekrutmen sebagai penyebab kinerja KPI yang amburadul. Tidak heran, tanda pagar BubarkanKPI bertebaran di media sosial.
KPI Bukan Malaikat
Gamblang sudah, membincangkan kontrol tayangan televisi bukan sebuah rangkaian faktor tunggal. Kita berhadapan dengan begitu banyak lipatan, tikungan, lapisan sekaligus kepentingan di balik teguran KPI kepada stasiun televisi.
Tanpa maksud menyederhanakan persoalan, kita perlu melihat karut marut ini secara rasional dengan ruang lingkup yang jelas.
Soal kinerja buruk KPI tidak harus diselesaikan dengan cara membubarkan lembaga yang dibentuk pada 2002 itu. KPI perlu dikembalikan pada maqam dan khittah-nya.
KPI bukan malaikat pengawas yang serba bisa mengawasi setiap tayangan, menit per menit. Akan ironis apabila KPI juga memaksakan diri menjadi malaikat bermata elang serta over acting menjalani perannya.
Baik pemerintah, KPI, stasiun televisi maupun masyarakat perlu melihat konteks bagaimana perilaku penyiaran dan standar program siaran diterapkan.
Lingkaran Setan
Tidak dimungkiri, tayangan televisi adalah bisnis media yang mengejar keuntungan. Kita tidak menutup mata bahwa rating yang tinggi adalah pendapatan iklan yang juga tinggi. Bagaimana keuntungan diraih oleh perusahaan televisi, inilah soalnya.
Acara televisi dibanjiri sinetron dan hiburan. Hal ini tidak terlepas dari selera masyarakat. Adapun bagaimana selera masyarakat dibentuk, program televisi memiliki andil di dalamnya. Ini menjadi lingkaran setan yang terus berputar.
Perusahaan televisi ingin mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Masyarakat ingin melampiaskan selera sepuas-puasnya. Klop sudah!
Lalu datanglah KPI dengan membawa sejumlah pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Sedangkan publik kadang tidak tahu bahwa aksi sensor dilakukan oleh tim internal stasiun televisi bersangkutan. Itu pun antar stasiun televisi menerapkannya secara berbeda.
Tidak ada cara yang lebih efektif untuk mengontrol tayangan televisi selain melibatkan peran keluarga. Tugas pemerintah adalah mengatasi keluarga yang miskin literasi media.
Selama ini penonton masih dianggap sebagai subjek yang pasif dan tidak cerdas. Sensor dan blokir yang dilanggengkan tanpa menghitung konteks adegan, justru mencerminkan wajah buruk kita sendiri.
Jagalan 190919
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H