Mengalir sungai-sungai plastik jantung kota
Menjadi hiasan yang harusnya tak ada
Udara penuh dengan serbuk tembaga
Topeng-topeng pelindung harus dikenakan
Ini desaku
Ini kotaku
Ini negeriku
Ya
Eseks eseks Udug udug (Nyanyian Ujung Gang), Swami
Pada September 2016, saya pernah menulis Ketika Udara Penuh dengan Serbuk Tembaga di media ini. Kini, di bulan yang sama, tiga tahun berlalu, persoalan asap masih mengepung kita.
Sepanjang waktu itu, persoalan asap tidak malah mereda. Tidak hanya di perkotaan, asap menyambangi kawasan yang berlahan hijau.
Tahun 1998 rata-rata kandungan PM 2,5 tahunan di udara adalah 7,95 mikrogram per meter kubik. Tidak menurun, tahun 2016 kandungannya menjadi 21,6 mikrogram per meter kubik. Artinya terdapat peningkatan kandungan PM 2,5 di udara Indonesia sebesar 171 persen.
Kualitas udara semakin buruk. Diperparah oleh dampak kebakaran hutan setiap tahun. Pada 2015 kita kehilangan 2,7 juta hektar lahan akibat dilalap api. Kehancuran lingkungan ini harus dibayar dengan kerugian senilai Rp. 225 triliun.
Bagaimana dampak yang diterima dunia? Setiap hari Indonesia menyumbangkan emisi gas kaca sebesar 15,95 juta ton karbon dioksida. Menurut Bank Dunia, sumbangan ini lebih besar dari yang dilakukan Amerika Serikat.
Kita tengah melakukan "bunuh diri" massal. Lingkungan tempat tinggal kita hancur. Udara yang kita hirup racun. Tiap detik diincar the silent killer.
Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan untuk melepaskan diri dari kepungan asap?
Yang pasti, polusi udara tidak bisa diselesaikan dengan berpolemik. Selain tidak efektif untuk menemukan jalan keluar, kualitas udara yang buruk terus memakan korban.