"Bagi yang berusia di bawah 40 tahun, panggil saya Eyang. Bagi yang berusia di atas 40 sampai 65 tahun, panggil saya Pak Dhe. Bagi yang usianya di atas 65 tahun, panggil saya Mas," ujarnya.
Malam ini, sebenarnya saya sedang menulis polemik antara PB Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tulisan baru setengah jalan, news feed masuk di HP saya. Presiden ke-3 RI: H. BJ. Habibie meninggal dunia. Innaalillahi wa innaa ilaihi rajiun. Semoga beliau husnul khatimah. Amin.
Tidak selang lama, seorang kawan mengirim video BJ Habibie bertajuk SDM yang Unggul untuk Kemajuan Indonesia. Saya putar sambil merasakan kekosongan yang tiba-tiba menyergap.
Saya teringat puisi Chairil Anwar, "Nisan". Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu atas debu/Dan duka maha tuan bertakhta.
Saya nikmati pidato Eyang Habibie. Kata perkata. Gayanya. Gestur tubuhnya. Tekanan kalimatnya. Getaran optimismenya. Gairah cintanya pada ilmu pengetahuan. Pokoknya, saya ingin melahap semua.
Tak ayal, saya larut dalam tarian irama logika berpikir yang bukan saja membumi, namun juga sarat dengan sisi humanisme yang jujur.
"Bagi yang berusia di bawah 40 tahun, panggil saya Eyang. Bagi yang berusia di atas 40 sampai 65 tahun, panggil saya Pak Dhe. Bagi yang usianya di atas 65 tahun, panggil saya Mas," ujarnya.
Anak-anak muda, Generasi Milenial, Generasi Z, Generasi Alpha adalah cucu Eyang Habibie. Bahkan lebih dari itu. "Anda adalah cucu intelektual saya," tuturnya.
Sampai di sini saya menarik nafas panjang. Bangsa ini, selain kehilangan seorang maestro pesawat terbang, sang teknokrat, juga kehilangan seorang Eyang yang sangat santun dan peduli terhadap masa depan cucunya.
Kepedulian itu, salah satunya, diwariskan melalui pandangan beliau tentang tiga elemen yang mempengaruhi produktivitas seseorang