Tantangannya sederhana saja. Silakan menyelesaikan soal penjumlahan di bawah angka 10, misalnya, 1+1, 2+5, 6+3. Pasti mudah, bukan? Namun, soal hitungan ini dikerjakan di kuburan yang angker pada jam dua dini hari. Bagaimana?
Soal hitungan yang awalnya mudah tiba-tiba menjadi rumit. Fokus kita terbelah antara menyelesaikan soal dan mengatasi perasaan takut. Bagi seorang pemberani hal itu tidak jadi masalah. Ia bisa mengatasi tekanan rasa takut. Bagaimana dengan seorang penakut?
Ia bahkan memilih tidak mengambil risiko. Bukan karena tidak bisa berhitung. Rasa takut akan bertemu kuntilanak, pocong, hantu gundhul pringis, dan wajah-wajah menyeramkan lainnya, benar-benar menghantui pikirannya.
Bagi seorang penakut hal ini bukan sekadar problem kognitif. Ia harus mampu menguasai emosi dan perasaan negatif. Sedangkan pikiran yang positif belum berhasil meyakinkan dirinya.
Pertanyaannya, mana yang lebih penting, memiliki emosi dan pikiran positif atau cukup salah satunya? Pikiran mengendalikan emosi, atau pikiran dikendalikan emosi? Atau keduanya saling mengendalikan?
Mengejar Bahagia
Lebih luas lagi, apakah kebahagiaan itu hasil kerja kognitif atau hasil kerja afektif? Mengapa semakin kita mengejar bahagia semakin ia lari menjauh?
Pertanyaan tersebut menggerakkan industri kebahagiaan hingga kini. Diperkirakan, untuk mencapai kebahagiaan dan pikiran positif nilai yang dikeluarkan mencapai Rp. 153 triliun per tahun. Apakah kebahagiaan dan pikiran positif sedemikian mahal harganya?
Selama dua dekade terakhir buku-buku self-help membanjiri rak toko buku. Kita seperti tidak berdaya sekadar untuk berbahagia. Bermacam-macam pandangan mulai dari filosofi kebahagiaan, tips, trik hingga kiat praktis keseharian memandu kita. Alih-alih menemukan kebahagiaan, kita malah diprovokasi oleh saran bagaimana "seharusnya" meraih bahagia.
Tidak heran, kita seperti membeli mimpi. Bahagia hanya mampir sekejap. Sesaat kemudian kita kembali berhadapan dengan dunia nyata yang bising dan sumpek.
Apa sebab? Industri kebahagiaan berhasil menggiring kita menjadi manusia "seharusnya". "Orang-orang mungkin menetapkan standar yang sangat tinggi untuk kebahagiaan mereka akibat buku-buku ini---mereka mungkin berpikir bahwa mereka seharusnya bahagia setiap waktu, atau sangat bahagia, dan itu bisa membuat orang berakhir kecewa pada diri mereka sendiri, merasa gagal---dan ujung-ujungnya malah menghambat diri sendiri," ujar Iris Mauss, psikolog dari Universitas California, Berkeley.
Menurut penyair Brasil Vinicius de Moraes, kebahagiaan adalah bulu yang melayang di udara. Ia terbang cepat, tapi tidak lama. Tips "seharusnya" itu mengajarkan kiat supaya bulu selalu melayang.