Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Bukan "Pegadaian" yang Serba Bisa Menyelesaikan Masalah

27 Agustus 2019   07:22 Diperbarui: 28 Agustus 2019   07:29 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sejumlah siswa keas 1 bernyanyi bersama saat masuk sekoilah hari pertama di SDN Rancamanyar III, Jalan Cilebak, Desa Rancamanyar, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Senin (14/7/2014). (FOTO: TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Ini merupakan bentuk tekanan dan ekspektasi yang diakibatkan tingginya tuntutan akademik dari sekolah. Alih-alih melatih logika berbahasa dan berhitung, siswa didorong sekadar bisa baca dan tulis. Hanya itu, lain tidak.

Bila para guru tidak kompeten mengajar logika dasar baca tulis dan berhitung, tidak mengherankan standar kualitas pendidikan berada dalam kategori rendah. 

Pendidikan yang menjadi ladang menyemai bibit peradaban, rontok sebelum berbuah. Fakta bahwa siswa telah menjadi "anak baik-baik" yang dibuktikan dengan nilai sangat memuaskan di rapor, tiba-tiba menjadi seperti "bukan anak Mama" saat berinteraksi di kehidupan nyata. Delusi sekolah ini patut diwaspadai.

Mengapa hal itu terjadi? Mari dicermati secara seksama. Sekolah menempatkan diri sebagai  problem solver bagi semua masalah yang dihadapi bangsa ini. 

Korupsi, intoleransi, hoaks, ancaman perpecahan, pengangguran, serta seabrek persoalan yang melilit kehidupan beragama, sosial, ekonomi dan politik. Sekolah diyakini sebagai "Pegadaian" yang menyelesaikan masalah tanpa masalah.   

Yang digadaikan adalah kebebasan siswa untuk menemukan dirinya. Tidak ada kegembiraan saat belajar. Anak kehilangan diri yang otentik. 

Sebuah harga yang sangat-sangat mahal harus dibayar, mengingat bonus demografi tidak cukup disongsong dengan seperangkat kemampuan teknis semata. Sekolah yang menyelesaikan masalah justru menabung masalah.

Jadi, sekolah yang berada di atas standar itu bagaimana?[]

Jagalan 270819

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun