Malam ini yang tersisa adalah gemericik air di antara batu-batu sungai. Getarannya ajeg merangkai ritme. Konstan mengisi ruang sunyi.
Angin malam terasa basah, menempel di kulit lalu berlalu begitu saja. Mengembara ke negeri entah. Tersesat di ngarai dan lembah. Sekilas menyapa air yang terjepit di sela batu-batu.
Untunglah malam tidak selamanya kelam. Alam boleh malam, namun benderang di belahan yang lain. Angin tak selalu badai, dikutuk dan dicaci. Air tidak selalu mengalirkan air mata. Orkestra sepi mengatasi dunia yang gegap gempita.
Di manakah huruf dan kata-kata bersembunyi? Apakah ia menjelma angin yang melintasi benua? Ataukah ia mengalir di antara nadi dan denyut darah? Bagaimana jika huruf dan kata-kata adalah jubah malam yang mengelabuhi mata sehingga di antara manusia saling menikam?
Manusia membangun singgasana kebesaran dengan batu-bata ketidakjujuran dan kerelaan saling menghancurkan. Menumpuk pundi-pundi kekayaan dengan saling memiskinkan. Mempidatokan perdamaian dengan menyulut pertengkaran dan kerusuhan.
Malam ini yang tersisa adalah puing-puing kemanusiaan, berserakan ditikam lampu jalan yang temaram.
170619
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H