Apa yang kau cari, Kawanku, dengan menulis sebiji puisi? Tidakkah satu bait puisi adalah makhluk purba yang tinggal di dalam goa? Mengapa kau menyeretnya keluar sehingga ia tertatih-tatih pangling menatap dunia.
"Karena satu bait puisi adalah selaksa harapan masa depan."
Kau pasti mengigau, Kawanku. Puisi tidak laku dipajang di etalase yang gemerlap. Tidak menarik minat karena kata-kata telah menjadi ranting berduri. Puisi menjadi kenangan, digembok dalam gudang masa silam.
"Justru karena puisi telah menjadi masa silam aku menghadirkannya kembali agar ia membimbing manusia ke masa depan."
Masa depan apa yang hendak kau bangun menggunakan batu bata puisi, Kawanku? Siapa manusia yang otaknya tersesat sehingga puisi dijadikannya lentera penerang untuk mencahayai masa depan? Jangan kau melumuri puisi dengan kotoran dan najis peradaban ketika manusia berbondong-bondong menukarkan martabat dan harga dirinya dengan sekrup mur baut dan data-data digital.
"Maka, puisi adalah formula untuk mendetoksifikasi semua racun dan benih-benih kanker dalam sel kesadaran manusia."
Sedemikian hebatkah makhluk bernama puisi sehingga ia harus hadir dan tidak boleh absen di setiap detik kesadaran? Apa pentingnya aku kau dan kita semua memiliki hati puisi?
Kawanku minggat. Puisiku minggat.
Jagalan, Maret 2019