Nasihat yang selalu menempel di benak karena begitu menampar saya adalah seandainya tidak ada larangan mencuri dalam kitab suci, apakah saya akan menjadi pencuri?
Nasihat itu lalu saya teruskan sendiri: seandainya tidak ada larangan membunuh orang lain, apakah saya akan menjadi pembunuh? Seandainya kitab suci tidak mencantumkan ayat dilarang riba, apakah saya akan jadi rentenir? Umpama tidak dijelaskan betapa hina membicarakan aib dan kejelekan orang lain, apakah saya akan menjadi "pemakan bangkai"?
Berhubung sekarang sedang ramai polemik "penggantian" kata kafir menjadi non muslim, yang salah satu alasannya agar tidak menyakiti perasaan orang yang berbeda agama, apakah saya akan tetap memanggilnya kafir sesuai realitas teologis yang melekat padanya?
Jangankan memanggil kafir, menyapa teman yang kakinya pincang: "Mas Pincang, mau pergi ke mana?"--hati saya tidak tega mengucapkannya.
Orang yang mata sebelahnya buta atau dalam bahasa Jawa dinamakan picek, tidak perlu dipertegas kenyataan itu dengan memanggil: "Mbak Picek, hati-hati kalau berjalan!"
Dalam konteks ini saya termasuk orang yang lemah iman karena tidak berani secara gagah perkasa berteriak, "Wahai orang-orang kafir...!" Kalau Tuhan menagih, semoga bibir saya sanggup mengucapkan: "Kulo mboten mentolo, Gusti. Saya tidak tega, Tuhan."
Tidak soal kata kafir mau diganti apa: non muslim, non islam, non mukmin, non muhsin. Kata-kata itu tidak akan saya obral dalam percakapan kultural, budaya, politik, ekonomi, pendidikan untuk menegaskan fakta iman seseorang--tanpa harus mengingkari dimensi etimologi, epistemologi dan teologi itu sendiri.
Kafir atau tidak kafir itu murni wewenang penilaian Tuhan. Yang bisa kita upayakan adalah bergerak dalam garis cakrawala mugo-mugo, semoga, mudah-mudahan, la'allakum. Sebagaimana saya juga tidak berani mengklaim diri saya sebagai seratus persen muslim, karena potensi untuk terpeleset menjadi kafir dalam pelbagai dimensi kualitas juga sangat tinggi.
Muslim atau kafir bukan label, bukan identitas, bukan baju, bukan jubah yang bisa seenaknya dipasangkan kepada orang lain, meski kita memiliki panduan parameternya. Kata-kata bukan benda mati yang jumud, mandeg dan kaku.Â
Mukmin dan kafir bergerak dan mengalir, sebagaimana iman yang yaziidu wa yanqushu, bertambah dan berkurang, dalam satuan paling lembut kesadaran manusia.
Itulah perang yang sesungguhnya, menjaga garis batas kesadaran agar kita tidak terpeleset dan terpelanting ke dalam wilayah kekufuran. Nabi menyebutnya Jihad Besar (al-Jihad al-Akbar), yakni jihad menaklukkan hawa nafsu.