Akibatnya, untuk merasa benar dan menyampaikan kebenaran, kita perlu bahkan wajib menyalahkan orang dan pihak yang berseberangan. Untuk berada di kanan, kita menyalahkan pihak kiri. Untuk berada di kiri, kita menyalahkan pihak kanan. Tidak mendukung Jokowi otomatis pasti jadi anak buah Prabowo. Bersimpati kepada Jokowi otomatis menjadi lawan pendukung Prabowo. Kenapa hidup berbangsa dan bernegara jadi begini sumpek dan tegang!
Ketegangan itu menghasilkan sikap lebay, berlebihan dan hilang keseimbangan. Kita tidak peka terhadap sikap empan papan, sawang-sinawang. Yang kita tampilkan di hadapan publik adalah politik tangan mengepal. Yang kita teriakkan adalah politik sopo siro sopo ingsun, dengan nada tinggi dan wajah mendongak. Kanvas perebutan kekuasaan kita dipenuhi oleh goresan garis yang merefleksikan "Aku pemilik kebenaran!"
Pro kontra doa yang "tertukar" dan munajat Neno Warisman mencerminkan kenyataan bahwa menuhankan diri sendiri ternyata mudah menjangkiti siapa saja. Diri ini bisa berarti diri team pemenangan, ormas, kelompok, aliran. Sedangkan Tuhan yang asli terselip di antara skenario gelombang kepentingan untuk meraih laba alias bathi.
Tuhan telah menegaskan, "Kebenaran itu dari Tuhanmu." Gara-gara Pilpres dan doa, kita jadi linglung sendiri saat membedakan "dari" dan "di".[]
Jagalan, 24 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H