Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Mentadaburi" Sastra, Menyeimbangkan Kembali "Default" Penciptaan Manusia

21 Februari 2019   10:51 Diperbarui: 21 Februari 2019   11:09 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa dalam sejarah hidup manusia hadir "makhluk" bernama sastra? Mengapa sastra nyaris melekat dalam setiap bidang kehidupan ketika manusia justru merelakan harkat dan martabat dirinya digerus oleh yang bukan manusia?

Jawabannya, karena sastra adalah hidup itu sendiri. Manusia yang menjalani hidup tanpa kesadaran sastra tak ubahnya mayat hidup---bergentayangan ke sana ke mari, mencari mangsa dan meminum "darah" harga diri orang lain. Mereka yang menilai dan memerlakukan sastra tidak sebagai kesadaran rasa yang lembut dan mendalam, dikhawatirkan akan turun "evolusi" kesadaran dirinya setingkat dengan hewan, tumbuhan, batu atau materi.

Atau meminjam ungkapan dari Al-Qur'an, manusia tanpa kelembutan sastra digambarkan sebagai manusia yang memiliki mata tapi tidak melihat, bertelinga tapi tidak mendengar, berotak tapi tidak berfikir, berhati tapi tidak merasakan.

Sastra akan selalu hidup dan terus hidup karena default penciptaan manusia adalah keseimbangan. Ketika praktik kehidupan politik menyeret manusia pada kanibalisme, sastra menyodorkan bening welas asih sorot mata bayi. 

Ketika kekuasaan bersikap represif untuk memertahankan kebenaran tunggal, sastra meneriakkan jeritan keadilan dari sukma terdalam manusia. 

Ketika ketimpangan, kemiringan, kegelapan, serta semua praktik jahiliyanisme mengepung sendi kehidupan, sastra menawarkan keseimbangan agar manusia kembali ke khittah dirinya yang fitri.

Maka, sastra tidak cukup dijadikan bahan kajian akademik semata---sastra layak ditempuh dengan kesungguhan metodologi tadabur bahwa hidup tidak berlangsung saat ini saja. 

Hidup adalah mampir ngombe. Sastra menyertai langkah manusia untuk mengabadi melalui setiap amal shalih. Tidak penting apakah ia sastrawan atau budayawan, politikus atau ekonom, Kepala Sekolah atau seorang Menteri. Yang diharapkan adalah produk dari tadabur sastra untuk kemaslahatan hidup bersama.

Dari cara pandang itu, buku Sharique: Kumpulan Prosais, Puisi, Senandika, Cerpen bukan hasil karya para sastrawan atau budayawan, karena "baju" fungsi sosial itu bisa tanggal kapan dan di mana saja. 

Para penulis yang karyanya terkumpul dalam buku ini adalah para manusia---dari berbagai latar belakang pendidikan, fungsi sosial dan budaya, pengalaman dan kedalaman permenungan, lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing---yang tengah dan terus berjuang mengolah diri agar lulus sebagai manusia di mata Tuhan.

Mereka mengerjakan metodologi tadabur terhadap fenomena di luar dan di dalam diri mereka sendiri; dan salah satu produknya adalah tulisan dalam berbagai genre yang oleh disiplin ilmu akademik modern dikategorikan sebagai karya fiksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun