Mendekati penghujung akhir 2018 dan menjelang awal 2019 bangsa Indonesia didera oleh deretan bencana yang mematikan. Erupsi gunung Anak Krakatau dan tsunami di Selat Sunda menyentak mimpi indah hendak berlibur ke mana kita memasuki tahun baru 2019. Sebelum itu bencana gempa bumi di Lombok NTB, lalu gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu dan Donggala menyisakan kepiluan yang mengiris rasa kemanusiaan.
Belum lagi longsor di Brebes pada Februari 2018, banjir bandang di Mandailing Natal, Sumatera Utara pada Oktober 2018 serta tanah longsor Sukabumi pada awal tahun 2019, seakan menyampaikan pesan: bangsa ini hendaknya mawas diri, waspada, dan kembali belajar dari kesembronoan yang terkesan rileks hidup di kawasan potensi bencana yang tinggi.
Kita semua tahu Indonesia terletak di kawasan Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) sehingga perlu bersahabat karib dengan bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BNPB) mencatat, sepekan sebelum tsunami menerjang selat Sunda, telah terjadi 2.436 kejadian bencana di Indonesia. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah korban bencana alam pada 2018, tercatat paling banyak.
Pendidikan Lingkungan: Mubah, Sunah atau Wajib?
Dalam sesi diskusi bersama kawan-kawan di lingkaran Kamis malam Jumat menjelang tahun baru 2019, saya menyampaikan keprihatinan terhadap praktik pendidikan yang abai dengan kenyataan lingkungan. Ketika program Adiwiyata sedang ngetrend, banyak sekolah negeri maupun swasta berlomba-lomba menerapkannya.Â
Tidak salah dan tentu baik-baik saja program itu diselenggarakan. Lingkungan sekolah terasa teduh, asri, dan segar. Sayangnya, kegiatan itu dipuncaki oleh penyerahan piala sebagai juara Adiwiyata antar sekolah.
Program yang bersifat seremonial selalu menyisakan problem yang serupa: miskinnya kesadaran terhadap akar substansi mengapa program itu perlu dijalankan. Program yang gagah-gagah itu berhenti pada kemampuan teknis dan pencapaian prestise.
Sedangkan kesadaran bahwa setiap warga sekolah hidup dan menjalani kehidupan di lingkungan seperti apa, bagaimana dan bahkan mengapa mereka dilahirkan di dusun, desa, kecamatan tempat tinggal mereka, selalu luput dari mata kesadaran kurikulum pendidikan. Akibatnya, kita malas membaca diri, enggan memahami alam, ogah bersahabat dengan tanah, air, angin, hujan, bukit, gunung.
Yang kita lahirkan atau yang diproduksi sekolah adalah generasi dengan kesadaran yang serba tanggung. Mereka malu membantu orangtua merawat kebun, mengolah pupuk kandang, mengairi sawah, tapi rajin menghabiskan jam belajar sekolah di ruang pengap persewaan game.
Mengenal lingkungan dusun atau desa serta menjaga lingkungan cukup diwadahi oleh mata pelajaran Kecil Menanam Besar Memanen (KMBM). Nama mata pelajarannya saja sudah mengganggu akal sehat. Itu pun mata pelajaran dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal, yang hukumnya "mubah" atau paling jauh "sunah" untuk diajarkan di sekolah.