Dengan kecepatan angin, Becak Kencana menembus gerbang kota. Para petugas bersenjata Armalite dan Kalashnikov, yang sedang asyik termenung-menung, terkejut. Seseorang segera memberondong. Tapi luput.
"Gila! Masih saja ada becak di kota ini!"
"Itulah becak terakhir yang belum digaruk!"
"Cepat laporkan!"
Adegan di atas adalah imajinasi Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen Becak Terakhir di Dunia (Atawa Rambo). Rambo tampil memikat: ia gesit menghindari berondongan peluru petugas, menjuarai reli kelas becak sedunia, pemain sirkus becak dengan dua roda depan terangkat ke atas dan satu roda berjalan di atas tali. Tapi, Rambo bukan satriapiningit apalagi pahlawan super hero. Mendadak ia loyo ketika dikepung tentara. Rambo lunglai menyerah.
Kini, Rambo akan dihidupkan lagi walaupun ia tidak sepenuhnya mati. Rambo akan beroperasi di kampung-kampung Jakarta. Menolong warga dengan model transportasi Ge-El alias Genjot Langsung. Dan sudah pasti, Rambo dilarang beredar di jalan-jalan protokol. Selain akan memperparah kemacetan, Rambo dan becaknya bukan ikon transportasi zaman modern.
Jakarta jangan sampai melangkah mundur. Ia harus melesat ke masa depan. Transportasi kelas wahid dengan kecepatan super yang efektif dan efisien menjadi andalan. Sedangkan becak bukan saja berjalan nggremet---ia adalah barang antik, simbol masa lalu ketika manusia masih mengandalkan kekuatan otot. Hidup di Jakarta mengandalkan otot?
Maka, becak tidak lagi cocok untuk aroma dan nuansa kota metropolitan. Masyarakat jangan dibiasakan bergerak lambat, seperti jalannya becak. Nanti mereka akan terlindas roda modernisme. Semua serba cepat bahkan harus sangat cepat---sebagaimana watak kecepatan arus informasi dan teknologi. Lemot dan tidak segera mengambil keputusan bersiaplah untuk dikudeta oleh yang serba cepat, praktis dan instan.
Atas semua persyaratan agar diterima di komunitas transportasi modern, kemungkinan besar becak akan kesulitan memenuhinya. Walaupun ada beberapa modifikasi yang tengah diupayakan, misalnya menambahkan mesin sepeda motor---becak tetaplah becak.
Modifikasi itu menjelma jadi bentor alias becak motor. Di Jombang bentor kadang disebut becak kopling. Bentor melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi untuk ukuran keamanan bodi becak. Kadang melesat hingga 40 Km per jam. Yang memakai helm hanya pengemudi. Padahal akibat fatal kecelakaan juga mengintai penumpang. Bentor adalah simbol budaya "masyarakat lama" yang tertatih-tatih mengejar kereta cepat modernisme.
Menurut Sutiyoso, tenaga manusia yang jadi andalan "becak manual" tidak manusiawi. Belum lagi di kota-kota kecamatan akan kita jumpai bapak-bapak lanjut usia yang mengayuh becak. Nafasnya putus-putus. Berapapun ongkos yang kita bayar rasanya belum cukup untuk melunasi hutang kemanusiaan itu.