Dalam konteks yang lebih luas kita kehilangan sosok Ibu---sosok pemimpin yang mengayomi, memangku, menggendong, menampung keluh kesah anak-anaknya. Kita adalah anak-anak yatim piatu sejarah tanpa personalitas yang jelas siapa "Ibu" kita. Kebenaran yang saling kita pertengkarkan merupakan efek dari perjalanan sejarah yang tidak diemong oleh Ibu. Kita seperti anak-anak kecil yang saling berebut: "Ini mainanku, bukan mainanmu!"
Tragedi Klithih, tawuran massal antar pelajar, jeratan narkoba, maraknya korupsi, mobilitas berita hoaks serta sejumlah perilaku yatim sejarah lainnya adalah akibat dari pemberian Air Susu Ibu yang tertunda.
Kita tidak lagi dipersatukan oleh kesadaran dulur sepersusuan. Lantas kita mencari "susu" sendiri-sendiri, sesuai selera ideologi, aliran dan madzhab sehingga kita tidak segan membeli "susu import". Di tengah itu semua kita bertengkar dan mempertengkarkan "susu" kita sebagai susu paling unggul, paling baik, paling benar. Tidak ada yang lebih sedih dan tersakiti menyaksikan benturan dan pertengkaran itu selain Ibu kita sendiri.
Maafkan kami, Ibu. Sekadar untuk berterima kasih kepadamu rasanya kami masih jauh dari kepantasan manusia yang bermartabat. []
Cipinang, 22 Desember 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H