Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saudara Sepersusuan dan Lunturnya Peran Ibu

22 Desember 2017   16:08 Diperbarui: 22 Desember 2017   16:38 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://lancarasi.net/

Beruntunglah kita, generasi zaman old, ketika ibu kita tidak sesibuk ibu-ibu zaman now. Stigma kasur, dapur, sumur untuk mendeskripsikan peran dan fungsi ibu zaman dahulu, di satu sisi, ternyata menguntungkan. Ibu memiliki lebih banyak waktu di rumah untuk menyusui bayinya hingga usia dua tahun. Keunggulan ibu zaman dahulu adalah pemberian ASI eksklusif bukan barang mahal bagi anak-anak mereka.

Berbagai ritual Jawa bahkan dijalani oleh ibu yang baru melahirkan---mulai minum jamu tradisional secara rutin, memakai kendit yang sangat rapat dibelitkan di pinggang dan perut, tidak boleh tidur di siang hari hingga ritual mandi wuwung setiap pagi. Ritual yang dijalani secara cukup ketat ini salah satu manfaatnya adalah air susu ibu menjadi bancar.

Bagi ibu yang air susunya belum keluar sangat disarankan rajin makan sayur dan buah, sambil jangan lupa, kalau pagi wajib mandi wuwung: mengguyur badan secara merata dari kaki hingga kepala seraya membuka mata. Ketika kepala diguyur air, mata tidak boleh merem. Mandi wuwung dilakukan setiap pagi hingga 30 menit bahkan bisa lebih. Biasanya, selesai mandi mata ibu akan terlihat merah.

Berbagai ritual yang terkesan ribet itu rasanya mustahil dijalani ibu-ibu muda zaman sekarang. Selain karena tuntutan profesi dan pekerjaan yang harus diselesaikan usai cuti melahirkan, menjalani mandi wuwung saja rasanya sudah menghabiskan banyak waktu. Kita terbelenggu oleh pragmatisme cara berpikir modern. Stigma kuno, tradisional, tidak masuk akal kerap ditimpakan kepada ritual dan pengobatan zaman dahulu.  

Air Susu Ibu (ASI) tidak lagi menjadi layanan primer yang diberikan ibu kepada buah hatinya. Rasionalitas kita segera menukas, "Mengapa tidak diberi susu sapi atau susu formula saja? Saya bekerja keras mengumpulkan uang demi masa depan anak-anak. Anggaran belanja keluarga separuh tersedot untuk membelikan susu. Saya bersama anak-anak toh baik-baik saja."

Pemberian susu formula menjadi gaya hidup untuk mengukuhkan status sosial. Demi mempertahankan bentuk payudara dan tubuh yang langsing adalah cita-cita ibu modern. Mereka seakan berkata, tidak ada masalah dengan besarnya uang untuk belanja susu formula tiap bulan. Saya punya cukup banyak uang untuk menghidupi anak saya.

Sejak tahun 2008 hingga 2016, rata-rata per tahunnya terdapat penambahan 3,6 juta penduduk, demikian data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Kita ambil simulasi sederhana. Bayi 0-6 bulan rata-rata per hari membutuhkan sekitar 800 cc susu formula. Jika kita konversi dalam ukuran kg dan dikalikan selama enam bulan, maka total berat susu formula yang dibutuhkan adalah 29,5 kg. Biaya yang harus dikeluarkan selama enam bulan untuk membeli susu formula dengan harga relatif terjangkau, yang rata-rata seharga Rp 75.000, adalah Rp 2.211.300.

Lantas berapa rupiah yang harus dikeluarkan hingga bayi berusia dua tahun? Berapa pula biayanya kalau susu formula yang dibeli adalah susu bermerek dengan harga paling mahal? 

Memakai asumsi rata-rata harga susu formula kelas menengah, dalam setahun seorang bayi membutuhkan biaya sebesar Rp 3.692.600. Kalau besaran biaya ini dikalikan rata-rata kelahiran bayi dalam setahun, potensi ekonomi dari memberikan ASI untuk masyarakat Indonesia per tahun adalah Rp13,3 triliun. Harga rupiah yang sangat-sangat fantastis.

Tapi, sudahlah, kita memang harus merelakan figur ibu, yang pelan namun pasti, luntur di hati anak-anaknya sendiri. Pemberian susu formula lebih keren, lebih modern, lebih nggaya, lebih wow di mata pandang manusia modern. Bersentuhannya pipi sang bayi dengan kulit payudara ibu, tatapan mata bayi dengan mata ibu, getaran rasa kasih sayang yang bergelombang dari sanubari ibu saat menyusui adalah khayalan romantisme manusia zaman purba.

Harkat kemanusiaan kita terlanjur nyungsep, dilindas mesin industrialisme-konsumerisme, hingga satu kenyataan tersisa: anak-anak itu sebatas anak biologis---bukan anak-anak nurani apalagi anak-anak rohani kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun