Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Halal "Lifestyle", Pilihan Gaya Hidup yang Universal

19 Desember 2017   07:18 Diperbarui: 19 Desember 2017   07:58 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sertifikasi halal atau haram tetap diperlukan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan konsumen muslim. Namun, pemasangan label halal atau haram hendaknya diberangkatkan dari logika kaidah hukum asal benda. Produk yang pasti halal memang perlu dilabeli halal. Produk yang pasti haram wajib dilabeli haram.

Logika industrialisme akan berpihak pada konsumen, tidak terutama pada akidah-syariah konsumen. Memasang label haram pada sebuah produk akan dipandang lucu dan berseberangan dengan mekanisme konsumerisme global.

Halal: Sikap Hidup yang Universal

Terkait logika produsen halal kita terlanjur mengikuti industrialisme global. Memang, Indonesia baru sebatas pasar dan belum menjadi pelaku. Berkebalikan dengan Thailand yang memiliki persentase penduduk muslim sebesar 5 persen, tapi merajai industri makanan halal global. Masuk akal kalau Thailand memasang label halal, karena diantara sasaran konsumen mereka adalah masyarakat muslim global. Gamblangnya, walaupun diproduksi oleh negara yang minoritas muslim, makanan ini halal kok dikonsumsi.

Besar harapan kita tertumpu pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang baru saja diresmikan. BPJPH sebagai badan pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH), menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, diharapkan menjadi pemicu kebangkitan industri halal dan menggairahkan perkembangannya di tanah air yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Saya sependapat dengan Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo bahwa gaya hidup halal bukan hanya terkait mengonsumsi produk-produk makanan halal, kosmetik halal, maupun busana bagi kaum muslim. Gaya hidup halal juga mencakup higienitas dalam produksi, keadilan, dan kenyamanan saat mengonsumsi.

Bukan hanya memastikan daging sapi telah dipotong dengan membaca basmallah, tetapi juga pengelolaan daging yang bertanggung jawab pasca dipotong. Pengolahan yang bersih, kemasan yang baik, dan bersertifikat halal adalah halal supply chain---jejaring aktivitas ekonomi yang bisa memproduksi dan memenuhi berbagai kebutuhan produk dan jasa halal.

Produk halal didefinisikan tidak sebatas "boleh" menurut hukum syari, namun dimuati oleh nilai-nilai teologis yang substantif-kualitatif sebagai konsekwensi dari halal lifestyle. 

Gaya hidup halal pada akhirnya akan menjadi bukan milik kaum muslim, tapi juga seluruh umat manusia. Halal adalah sikap hidup yang universal. Indonesia memiliki sejumlah potensi untuk menjadi mercusuar universalisme gaya hidup yang bermartabat di hadapan Tuhan. []

Jombang, 18 Desember 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun