Ini pengajian dikemas dalam format acara yang berbeda. Sinau Bareng dalam rangka Harlah Pondok Pesantren Al-Muayyad Kec. Jati, Kudus Jateng (Selasa, 5/12) disuguhkan secara tidak lazim. Menghadirkan Can Nun dan KiaiKanjeng, santri dan warga malah diajak untuk memainkan simulasi-simulasi: mulai dari dolanan Jamuran hingga outbound sederhana. Model pengajian yang sengaja dirancang tidak terutama untuk menceramahi jamaah.
Itu semua pasti bukan tanpa maksud. Kita tengah bergerak menuju satu pusaran yang sama---pusaran yang melenakan dan melalaikan jati diri kita sebagai bangsa. Tak ayal, permainan yang disebut tradisional oleh anak bangsa sendiri kini benar-benar dilempar ke masa lalu, sehingga pantas diberi label tradisional, kuno, ketinggalan zaman.
Seorang ibu generasi old angkat tangan ketika Mas Doni dan Mas Jijit "menantang" jamaah untuk memainkan dolanan Jamuran. Ibu yang kira-kira berusia 50 tahun itu cukup fasih mendendangkannya. Suasana Sinau Bareng pun menjadi hidup. Gelak tawa kebahagiaan meraut wajah-wajah yang hadir malam itu.
Tidak ketinggalan sesepuh KiaiKanjeng, Pak Novi Budianto, turut serta. Dialog spontan dengan Mas Doni mengalir. "Tariklah mata anak panahmu jauh ke belakang agar ia melesat jauh ke depan," tandas sang kreator nada musik KiaiKanjeng.
Artinya, untuk melesat jauh ke masa depan kita memerlukan kesadaran masa lalu yang jangkep. Belajar kembali mengenal akar budaya, merefleksikannya sebagai spirit nilai yang memandu gerak ke masa depan, merawatnya sebagai pondasi bangunan peradaban, mutlak diperlukan. Menjadi bangsa yang globalis seraya tetap menjadi diri sendiri. Kita memasadepankan masa silam.
Dolanan masa silam yang dimainkan pada beberapa acara Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng menemukan momentum urgensinya. Jangankan terhadap filosofi nilai-nilai luhur budaya, terhadap dolanan khas bangsa sendiri, kita luput merawatnya. Gobak Sodor, Benthik, Jamuran, Sridendem, Patelele, Gedrek, Dakon adalah sejumlah kosa kata asing yang berasal dari planet dunia lain di telinga anak-anak kita.
Kalau kita tilik lebih cermat, setiap dolanan yang kita anggap tradisioanal itu selalu memerlukan keterlibatan sesama bocah. Sebut saja Obak Dhelek atau Petak Umpet: akan sangat lucu dan lalar gawe apabila dimainkan sendiri. Dia yang tutup mata, lalu dia pula yang sembunyi.
Kita tidak sedang mengasyiki romantisme masa lalu, menyeretnya kembali ke zaman batu. Kita tidak sekadar membincangkan dolanan bocah-bocah yang tak ubahnya kerikil di tengah derap kaki-kaki perkasa persaingan global. Kalau kita tidak mengerti akar pepohonan peradaban masa lalu kita sendiri---baik sebagai manusia, suku dan bangsa---kehancuran yang pasti terjadi adalah kita akan menatap diri sendiri dengan perasaan asing dan aneh. Kita akan menjadi buih di kancah arus perubahan global yang dahsyat ini.
Kita tidak perlu jauh-jauh belajar tentang Nomus, istilah dalam bahasa orang Wakhi yang dapat diartikan sebagai bukti kepedulian dan kasih sayang terhadap sesama manusia. Kearifan lokal tentang filantropi, bagian tak terpisahkan dari masyarakat Shimshal, kampung terpencil di Pakistan.
Terhadap kenyataan masa silam Borobudur yang bertahan hingga kini, kita memanfaatkannya hanya sebagai objek wisata. Kita tidak belajar kepada "lingkaran Borobudur". Mengapa lingkaran, ada apa dengan lingkaran, simbolisasi kekuatan apa di balik lingkaran. Mengapa Borobudur, bangunan yang abadi itu, adalah bangunan spiritual---bukan bangunan yang kala itu misalnya berfungsi sebagai pusat perbelanjaan?