Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Egosentrisme Memandang Bencana

28 November 2017   23:59 Diperbarui: 29 November 2017   02:11 1714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa (28/11), Pacitan dilanda banjir bandang. Air berwarna coklat, bercampur dengan lumpur menerjang sawah, jalan raya, rumah-rumah warga. Broadcast yang mengingatkan cuaca ekstrim menyebar di banyak group Whatsapp. Warga di Jawa Timur yang kotanya rawan banjir dan longsor diharap waspada.

Cuaca ekstrim --sejak kapan cuaca dan alam mendeklarasikan sifat ekstrim sehingga dijuluki esktrimis? Organisme alam diciptakan Tuhan dengan mizan keseimbangan. Ada yang menyebut law of nature, hukum alam, sunnatullah. Alam tidak pernah ingkar dengan ketetapan Tuhan. Ayam jago akan setia menjalani takdirnya: berkokok menjelang pagi, tanpa pernah berinisiatif usul kepada Tuhan, sesekali diperkenankan untuk menggonggong.

Ayam Jago tidak pernah menjadi hewan ekstrim. Demikian pula udara, angin, air, api, gelombang, gunung berapi menjalani titah hukum Tuhan secara apa adanya. Tidak kurang tidak lebih. Mereka bergerak, menjalani, mematuhi keseimbangan yang diamanahkan Tuhan. Walaupun terjadi anomali, perilaku itu bisa dipahami sebagai upaya alam menjaga keseimbangan dirinya.

Banjir bandang dan tanah longsor adalah keseimbangan alam yang terusik. Manusia menyebutnya bencana. Banjir adalah ketika air tidak menemukan "jalan keluar" sehingga memasuki dan merendam permukiman. Gunung meletus adalah ketika Tuhan sedang menebarkan berkah. Jadi, siapakah sebenarnya yang berperilaku ekstrim?

Gunung Agung atau gunung-gunung lainnya bisa meletus kapan saja: 1963 atau sepanjang tahun 2017. Bagaimana manusia menyikapi letusannya? Bagi kaum tua, golongan tradisional, letusan gunung berapi adalah berkah dalam bentuk yang lain. Aktivitas memang terganggu. Mereka harus meninggalkan rumah, ternak, sawah dan ladang. Namun, di tengah situasi "bencana" itu mereka tetap memiliki asa dan sangka baik. Gunung berapi tengah menyapa mereka.

Berbeda dengan kaum muda, golongan modern, yang terdidik dan terpelajar. Erupsi gunung berapi adalah bencana (tanpa tanda petik) yang menghalangi aktivitas dan pekerjaan mereka. Sikap berpikir materialisme memandang erupsi gunung berapi, atau sejumlah kejadian yang dikategorikan bencana alam adalah ancaman yang mengusik keasyikan berburu materi.

Alam diperlakukan tidak sebagai bagian dari dialektika untuk membangun harmoni kehidupan. Sikap eksploitatif merupakan akibat ketika alam ditempatkan sebagai objek yang dihamili dan harus terus menerus beranak. Manusia adalah pusat peradaban: yang di luar dirinya harus patuh-tunduk demi memuasi nafsu menjadi kaya tanpa batas.

Sungguh primitif masyarakat tradisional itu. Di tengah derap laju modernitas yang gegap gempita, ketika setiap orang menapaki jenjang karir tertinggi untuk meraih puncak kekayaan yang paling kaya, masyarakat tradisional malah asyik bercengkrama dengan gunung, laut, angin. Di pura Bekasih misalnya, umat Hindu di Bali menggelar upacara khusus, mohon ampun agar Gunung Agung tidak murka.

Dialektika yang sejajar antara manusia dan alam kini digantikan oleh hubungan struktural. Manusia menindas alam. Yang menindas berada di atas, yang ditindas berada di bawah. Namun, giliran alam "berulah"--untuk menjaga keseimbangan, sebagaimana titah Tuhan--manusia langsung merasa terancam. Ungkapan-ungkapan yang digunakan kerap menyudutkan dan seakan menyalahkan alam.

Kita kerap mendengar kalimat, misalnya: akibat erupsi vulkanik bandara ditutup; sawah siap panen diterjang banjir bandang; jalur antar kota lumpuh akibat tanah longsor; banjir lahar dingin merobohkan jembatan. Sekilas tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Namun, kita menangkap nuansa egosentrisme di balik ungkapan itu. Diam-diam kita menggerutu: "Semua kerugian ini gara-gara hujan debu, banjir bandang, tanah longsor, lahar dingin...!"

"Seluruh umat manusia tahu, bagaimana keadaan karakter umat manusia zaman sekarang yang penuh dengan egoisme, penuh dengan kemarahan, lalu sering tersinggung dan menghalalkan segala cara, mementingkan diri sendiri, mengejar hanya harta, berebut kekuasaan," kata Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Keluarga Besar Kerajaan Bali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun