Asap kok menikam? Bukan dilihat dari kelembutannya yang ringan diterbangkan angin, tapi serangan asap bisa langsung menuju pusat organ manusia, yaitu paru-paru—dan itu serangan bisa mematikan.
Kemudian sang asap berkata, “Apa salahku sehingga manusia memusuhiku? Setiap kebijakan publik selalu menempatkan aku sebagai tersangka atas 80% orang yang terpajan polusi udara di kota-kota besar!”
Sebagaimana api, air, udara, angin, tanah yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan, asap merupakan akibat logis dari perilaku manusia yang gemar membakar apa saja. Jangankan asap—bahkan kepada air kita kerap merasa jengkel, sehingga ketika air menggenangi jalanan hingga kedalaman satu meter, kita menggerutu, mengumpat, mengutuknya. Orang bertanya, misalnya, “Rumahnya banjir mas?” adalah pertanyaan yang mengejek.
Peradaban Asap
Kita ini aneh kalau tidak mau dibilang irasional. Rangkaian cara berpikir kita putus-putus, sepenggal-sepenggal, tersekat-sekat. Kasus banjir yang rutin menyambangi permukiman dilihat sebagai murni perilaku air menggenang. Hanya itu dan berhenti di situ. Padahal, air sedang menjalani peraturan atau sunnatullah yang diamanahkan Tuhan. Dalam konteks ini cara berpikir kita buntu dan hanya mengutuki keadaan karena hasrat egoisme kita dihambat oleh kenyataan yang bernama banjir.
Kita memang berpikir ke depan, namun tidak secara mendasar untuk menanggulangi banjir dan menyelamatkan genersi berikutnya. Berpikir ke depan itu untuk mengatasi masalah-masalah praktis terkait kepentingan yang pragmatis dan materialis.
Demikian pula dengan problematika asap yang mengepung—kita rajin mengukur indeks kualitas udara, dan di saat yang sama kita semprotkan asap melalui knalpot motor dan mobil demi memuaskan kebiasaan manja sebagai manusia kota. Peradaban kita adalah peradaban asap. Siapa jadi tumbal?
WHO melansir laporan tentang bahaya lingkungan bagi balita. Setiap tahun polusi lingkungan membunuh sekitar 1,7 juta anak di seluruh dunia. Infeksi pernapasan, diare, malaria, dan cedera yang disebabkan lingkungan adalah beberapa penyebab kematian balita. Namun, angka tertinggi dari penyebab kematian tersebut adalah infeksi pernafasan akut atau pneumonia—jumlahnya mencapai 570.000 balita.
Jenderal WHO, Margaret Chan, menyampaikan peringatan, balita paling berisiko meninggal akibat lingkungan tercemar karena perkembangan organ tubuh, saluran pernafasan dan tubuh yang masih rentan.
Dapatkan kita membayangkan masa depan 300 juta anak yang hidup di kawasan yang polusi udaranya sangat ekstrim—asap beracun menyesaki udara lebih dari enam kali pedoman internasional? Bagaimana masa depan dua miliar anak-anak di dunia—hampir 90 persen—tinggal di tempat yang polusi udara luar ruangan melebihi batas yang ditentukan Badan Kesehatan Dunia?
Perempuan dan Bumi yang Sama-sama Menderita
Bumi dan jagad raya disimbolkan sosok perempuan atau sosok ibu. Persuami istrian itu terjalin juga antara manusia dan bumi.
Bumi tempat anak-anak hidup, tanah tempat anak-anak menapakkan kaki, udara yang mereka hirup, air yang mereka minum, makanan yang mereka makan—ibarat air susu ibu, dihasilkan oleh perempuan yang setiap saat mengalami kekejaman.
Tanah kelahiran ini dinamakan ibu pertiwi berkat kemuliaan hidup seorang perempuan, berkat kemuliaan hati seorang ibu, namun kita tega berbuat kejam padanya. Bumi—ibu kita bersama, sedang sekarat. Diperas air susunya, dan anak-anak itu, para balita itu bergelimpangan, satu persatu mati, karena bumi, ibu mereka juga sedang menanti ajal.
Memperingati hari perempuan sedunia tidak sekadar menggugat, mengkritisi, memprihatini nasib, memproyeksikan masa depan perempuan, yang diberangkatkan dan diorientasikan sebatas perspektif gender keperempuanan belaka. Beragam kasus yang menimpa perempuan pada frekuensi, intensitas, bobot luka hidup, sesungguhnya tidak bisa dilokalisir sebagai persoalan perempuan dan laki-laki.
Atau dalam konteks yang lebih luas dan hakiki, kerusakan lingkungan dan tingginya polusi tidak bisa dipersempit manusia (pihak laki-laki) menindas bumi (pihak perempuan).
Perempuan yang ditindas dan bumi yang diperas merupakan persoalan kemanusiaan dan keserakahan. Penindasan kepada perempuan, apapun motif dan tujuannya, atau eksploitasi terhadap lingkungan, apapun proyeksi masa depannya—semua itu merupakan pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri.
Maka, kita perlu berpikir ulang: yang sedang menimpa kaum perempuan itu kekerasan ataukah kekejaman? Disiplin harus dibangun dengan sikap yang keras terhadap diri sendiri. Menegakkan peraturan dalam konteks kebutuhan tertentu membutuhkan sikap yang keras. Untuk memecah batu kita memerlukan alat pemukul yang keras. Namun, sikap keras itu tidak boleh diikuti oleh perilaku yang kejam, baik kepada diri sendiri apalagi kepada orang lain.
Semoga kita sepakat, yang menimpa kaum perempuan adalah kekejaman—kekejaman fisik, kekejaman emosi, kekejaman harga diri. Kekerasan dan kekejaman yang ditempatkan tidak pada maqam pengertian, konteks kejadian, ruang lingkup persoalan menghasilkan perilaku dan kebijakan yang diselimuti oleh kabut konotatif alias kabur.
Perilaku manusia yang mengeksploitasi isi perut bumi dan mengabaikan keseimbangan lingkungan termasuk kekejaman terhadap “perempuan”.
Masih ada waktu untuk berbenah dan memperbaiki diri, sebelum kita dan anak cucu kita kualat karena bersikap kejam terhadap kaum perempuan dan sewenang-wenang kepada kesabaran bumi.[]
jagalan 08.03.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H