Kalimat Mbah Markesot benar-benar menghatam saya. “Kehilangan martabat kemanusiaan tak masalah, asal tetap punya pekerjaan, bisa menghidupi keluarga dan memastikan kemakmuran. Tidak punya harga diri pribadi, harga diri kemasyarakatan dan kebangsaan, itu bukan persoalan, karena yang utama adalah tegaknya materialisme dalam kehidupan di dunia,” ungkapnya dalam Agamaterialisme.
Saya jadi berpikir keras, mengadili diri sendiri, apakah saya masih memiliki martabat kemanusiaan? Apakah harga diri pribadi, harga diri kemasyarakatan dan kebangsaan telah saya gadaikan untuk mengongkosi tegaknya materialisme?
Pertanyaan terus berlanjut. Sejumlah gugatan memberondong: mengapa jargon “anti kemiskinan” terdengar lebih akrab daripada “anti pemiskinan”? Mengapa suara “anti kebodohan” lebih lantang diteriakkan daripada “anti pembodohan”? Saya termasuk bagian dari gerakan “anti kemiskinan” ataukah “anti pemiskinan”; bagian dari gerakan “anti kebodohan” ataukah “anti pembodohan”?
Ah, sudahlah. Kelu jiwa saya dirajam oleh semua “gugatan” itu. Lagi pula mengapa saya repot dan mentolo kejam kepada diri sendiri, sementara entah ada berapa gelintir manusia yang peduli dengan kemiskinan dan pemiskinan, kebodohan dan pembodohan? Sedangkan yang dihindari, ditakuti, ditalak tiga oleh hampir setiap orang adalah kemiskinian dan kebodohan. Hidup miskin dan bodoh di mata orang lain adalah kutukan yang sakitnya tak terperikan.
Segala daya upaya dilancarkan untuk keluar atau sebisa mungkin menghindari zona kemiskinan dan kebodohan. Untuk itu, apapun cara ditempuh—walaupun agar tidak hidup miskin dan bodoh manusia melakukan pemiskinan dan pembodohan. Manusia menjadikan sesama manusia sebagai tumbal untuk membayar ketakutan mereka hidup miskin dan bodoh. Gerakan pemiskinan dan pembodohan menjadi gelombang dahsyat yang merobohkan pilar kemanusiaan. Kekayaan dikumpulkan dengan cara memiskinan orang lain. Kepandaian diraih melalui metode membodohkan orang lain.
Kaya yang Memiskinan, Pandai yang Membodohkan
Virus materialisme itu menggumpal menjadi cita-cita bersama: kaya dan berkuasa. Semua instrumen akal budi, potensi alam, kesadaran rohani dan jasmani bergerak dalam satu nafsu dan ambisi meraih kekayaan sekaya-kayanya. Mereka yang berkuasa tidak lantas berhenti dengan kekuasaan yang berhasil mereka genggam—kekuasan itu dijadikan alat untuk memperkaya diri.
Kekayaan dikumpulkan melalui berbagai cara: korupsi ratusam miliar rupiah hingga recehan; korupsi ditampilkan secara “beradab” hingga korupsi kelas pungli. Nafsu kaya dan berkuasa menjadi viral yang ditegakkan secara merata di setiap aktivitas. Apa faktanya?
"Dalam dua bulan terakhir ada 18.600 laporan. Kami pilah dan kirim ke kementerian/lembaga untuk ditindaklanjuti. Sampai saat ini tercatat 71 kasus yang dilakukan OTT oleh Satgas Saber Pungli baik itu dari pusat maupun berkoordinasi dengan UPP unit daerah," ujar Ketua Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) Komjen Pol Dwi Priyatno, saat ditemui di Posko Saber Pungli, Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (5/1/2017) (Kompas.com).
Bukan hanya itu. Mabes Polri pernah merilis data bahwa ada 235 kasus pungli yang melibatkan oknum polisi dalam kurun waktu tiga bulan, yakni 17 Juli hingga 17 Oktober 2016. Dari data tersebut, Satuan Lalu Lintas menempati urutan pertama dalam kasus pungli ini, yakni sebanyak 160 kasus, kemudian disusul Reserse Kriminal 26 kasus, Baharkam 39 kasus dan fungsi Intel 10 kasus.
Kapolri Tito Karnavian telah mengeluarkan surat edaran terkait aturan bagi anggota Polri agar menjahui gaya hidup hedonis. Surat edaran bernomor SE/11/VI/2016 diberikan kepada setiap Polda, salah satu poinnya adalah anggota Polri dilarang memamerkan kemewahan dan hidup hedonis di media sosial.
Katakanlah surat edaran itu terkait dengan upaya internal Polri mereformasi diri, seperti ditekankan Presiden Jokowi saat melantik Tito Karnavian sebagai Kapolri pada Juli 2016. Presiden berpesan agar Tito fokus pada dua hal: pertama, menjaga kekompakan serta soliditas internal Polri. Kedua, melakukan reformasi Polri secara menyeluruh dan konsisten.
Namun, memamerkan kemewahan dan gaya hidup hedonis ini bukan persoalan di tubuh Polri saja—bahkan sikap dan gaya hidup hedonis itu merupakan pilihan atau setidaknya menjadi cita-cita hampir setiap orang yang misi hidupnya adalah menghindari kemiskinan melalui cara pemiskinan. Kalau belum bisa memiskinkan orang lain, simbol dan asesoris hidup hedonis harus selalu tampak menonjol di tengah publik atau minimal di depan tetangga. Sikap hidup mewah itu dengan sendirinya semakin ndadi gak karu-karuan ketika seseorang berhasil memiskinkan orang lain dengan cara terang-terangan, halus beradab, hingga aturan sistemik yang eksploitatif.
Bebendhu Tan Kasat Mata
Orang akan sangat terpukul dan jatuh martabatnya ketika ia dianggap miskin, sehingga rela menggadaikan martabat dan harga diri agar tidak terlihat miskin. Miskin dan kaya tidak dipelajari, dihayati, diteliti secara mandiri dan berdaulat. Definisi miskin atau kaya, bersama perangkat berpikirnya, didominasi oleh logika materialisme kapitalisme yang menjadi “agama” zaman ini.
Ketika orang melakukan pemiskinan sejatinya ia juga melakukan pembodohan sekaligus—pembodohan kepada diri sendiri dan orang lain. Urutan tahapan itu bisa disimulasi secara sederhana seperti ini. Orang takut miskin akan melakukan sedikitnya dua hal: mengeruk keuntungan materi sak kecawuke—dan, untuk itu, ia memberi infomasi yang menguntungkan dirinya. Terkait dengan informasi inilah berita hoax, kabar fitnah, pernyataan abal-abal merajalela—yang mulai hulu hingga hilir dipanglimai oleh materialisme takut miskin alias ingin kaya. Bukankah ini dua upaya dan dampak dari pemiskinan dan pembodohan?
Atmosfer berpikir materialisme mengajak setiap orang anti kebodohan, bukan anti pembodohan. Pendidikan yang dirasuki atmosfer materialisme menyeret siswa, guru, orang tua, masyarakat agar anti kebodohan bukan anti pembodohan. Ironisnya, apa yang mereka kerjakan dalam rangka mengemban misi anti kebodohan justru memproduksi kebodohan.
Sedangkan kenyataan hidup miskin dan bodoh sebagai produk dari pemiskinan dan pembodohan inilah yang harus dicermati, diurai benang ruwetnya, dicarikan solusi, ditata kembali cara berpikirnya, agar apa yang disenandungkan Mbah Markesot bebendhu tan kasat mata, pepeteng kang malih rupa, bisa kita atasi walaupun pada skala paling kecil di keluarga kita masing-masing.
Salam
Jagalan, rumah ngaji 060117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H