Namun, memamerkan kemewahan dan gaya hidup hedonis ini bukan persoalan di tubuh Polri saja—bahkan sikap dan gaya hidup hedonis itu merupakan pilihan atau setidaknya menjadi cita-cita hampir setiap orang yang misi hidupnya adalah menghindari kemiskinan melalui cara pemiskinan. Kalau belum bisa memiskinkan orang lain, simbol dan asesoris hidup hedonis harus selalu tampak menonjol di tengah publik atau minimal di depan tetangga. Sikap hidup mewah itu dengan sendirinya semakin ndadi gak karu-karuan ketika seseorang berhasil memiskinkan orang lain dengan cara terang-terangan, halus beradab, hingga aturan sistemik yang eksploitatif.
Bebendhu Tan Kasat Mata
Orang akan sangat terpukul dan jatuh martabatnya ketika ia dianggap miskin, sehingga rela menggadaikan martabat dan harga diri agar tidak terlihat miskin. Miskin dan kaya tidak dipelajari, dihayati, diteliti secara mandiri dan berdaulat. Definisi miskin atau kaya, bersama perangkat berpikirnya, didominasi oleh logika materialisme kapitalisme yang menjadi “agama” zaman ini.
Ketika orang melakukan pemiskinan sejatinya ia juga melakukan pembodohan sekaligus—pembodohan kepada diri sendiri dan orang lain. Urutan tahapan itu bisa disimulasi secara sederhana seperti ini. Orang takut miskin akan melakukan sedikitnya dua hal: mengeruk keuntungan materi sak kecawuke—dan, untuk itu, ia memberi infomasi yang menguntungkan dirinya. Terkait dengan informasi inilah berita hoax, kabar fitnah, pernyataan abal-abal merajalela—yang mulai hulu hingga hilir dipanglimai oleh materialisme takut miskin alias ingin kaya. Bukankah ini dua upaya dan dampak dari pemiskinan dan pembodohan?
Atmosfer berpikir materialisme mengajak setiap orang anti kebodohan, bukan anti pembodohan. Pendidikan yang dirasuki atmosfer materialisme menyeret siswa, guru, orang tua, masyarakat agar anti kebodohan bukan anti pembodohan. Ironisnya, apa yang mereka kerjakan dalam rangka mengemban misi anti kebodohan justru memproduksi kebodohan.
Sedangkan kenyataan hidup miskin dan bodoh sebagai produk dari pemiskinan dan pembodohan inilah yang harus dicermati, diurai benang ruwetnya, dicarikan solusi, ditata kembali cara berpikirnya, agar apa yang disenandungkan Mbah Markesot bebendhu tan kasat mata, pepeteng kang malih rupa, bisa kita atasi walaupun pada skala paling kecil di keluarga kita masing-masing.
Salam
Jagalan, rumah ngaji 060117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H