Pada pembukaan Kongres XXI Persatuan Tamansiswa, di Yogyakarta, Selasa (6/12/2016), Mendikbud Muhadjir dalam sambutannya menyampaikan: "Saya juga sudah cek di lapangan, bahwa kecurangan dalam pelaksanaan UN di sekolah pelakunya adalah guru di sekolah tersebut." Muhadjir bertekad kecurangan itu harus dihentikan sekarang juga. “Inilah tugas dan tekad saya sebagai Mendikbud,” tegas dia.
Kita tidak sedang menutup mata bahwa kecurangan selama pelaksanaan Ujian Nasional tidak hanya melibatkan guru. Ibarat rantai makanan, guru adalah satu dari sekian rantai yang saling terikat dan mengikatkan diri dengan rantai yang lain. Rantai makanan itu terjalin sesuai skala kepentingan setiap pihak.
Kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional tidak berdiri sendiri dan terjadi secara tiba-tiba. Guru dan pengawas UN tidak serta merta bersepakat untuk tidak jujur. Atmosfer yang tidak jujur dihembuskan jauh sebelum hari pelaksanaan ujian. Pendidikan yang mengedepankan wacana akademik dengan pamrih kepentingan politik pendidikan, perangkat hukum, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, hawa psikologis tekanan dari dinas pendidikan setempat, tuntutan kepala sekolah dan wali murid, gengsi dan status sekolah, serta berbagai faktor yang tidak kasat mata mengatmosfiri kecurangan demi kecurangan.
Atmosfer yang tidak jujur bagaikan partikel udara—memenuhi paru-paru, mengalir di aliran darah, mengendap di otak, menggerakkan saraf-saraf berpikir, membentuk perilaku bersama yang saling paham dan saling mengerti. Dalam rangka menjalankan “pengabdian” kepada atasan, Kepala sekolah dan pengawas UN sudah “klik” untuk memberi kesempatan kepada peserta UN bekerja sama, saling tukar jawaban, tolong menolong dalam “kebaikan”—asal suasana ujian tetap tenang.
Di tengah atmosfer tolong menolong dalam “kebaikan” itu guru terpojok sebagai pelaku utama kecurangan pelaksanaan UN. Tudingan yang benar-benar paradoks dengan “kemuliaan” guru yang dielu-elukan saat Hari Guru Nasional beberapa waktu lalu. Paradoksal ini mencerminkan tidak ada lagi “bunyan” atau bangunan berpikir yang cetho—absurd, jumbuh, campur aduk sehingga setiap persoalan kehilangan konteks dan strukturnya. Sebuah keputusan cukup didasarkan pada asumsi.
Scared Straight dan USBN
Tahun 1970-an Amerika Serikat pernah dilanda wabah kriminalitas. Narkoba, pencurian, kekerasan menggila. Di negara bagian New Jersey polisi sudah kualahan. Dicarilah cara untuk menanggulangi wabah tersebut terutama bagi remaja yang nakal. Pihak berwenang lantas mengajak para remaja nakal itu berkunjung ke penjara Rahway State. Tujuannya adalah menunjukkan kehidupan dalam penjara yang keras dan tidak beradab itu. Diharapkan ada efek traumatis pada diri remaja itu sehingga mereka takut berbuat kriminal karena penjara yang kejam telah menunggu.
Program itu diberi nama Scared Straight.Beberapa negara mengadopsi program tersebut. Program yang cukup populer dan murah itu tidak ada yang mengkaji apakah benar-benar berguna. Namun akhirnya pada tahun 1982, sebuah studi lanjutan tentang kaum muda mengungkapkan kebenaran: program itu bukan hanya gagal mengurangi kemungkinan mereka terlibat kriminalitas, bahkan sebaliknya, meningkatkan tindak kriminalitas.
Scared Straight adalah program yang memukul balik. Diterapkan begitu saja tanpa kajian yang komprehensif sehingga struktur persoalan yang sebenarnya luput. Alih-alih memberi efek traumatis—para remaja itu seperti sedang ditantang untuk menaklukkan kehidupan dalam penjara.
Saya mencium aroma Scared Straight pada pernyataan Mendikbud Muhadjir. Moratorium UN akan mengikis kecurangan guru. Benarkah hal itu akan terjadi? Selama akar penyebab “kriminalitas” dan “penistaan” terhadap hakekat pendidikan belum teratasi, kecurangan dalam skala luas akan terus menjadi wajah utama pendidikan nasional.
Bukan pesimisme yang sedang saya anjurkan, melainkan menyelesaikan persoalan secara scared straight atau dalam khasanah Jawa digambarkan melalui tembang E, Dayohe Teko, akan memicu keberanian menanggung risiko negatif dan memicu persoalan baru yang tak kalah pelik dan runyam.