Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Parenting Zaman Darurat

11 November 2016   22:55 Diperbarui: 11 November 2016   23:03 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya setuju bahwa menulis tidak selalu berurusan dengan keuntungan berupa uang. Ada bentuk atau sisi keuntungan lain yang bisa diperoleh dari kebiasaan menulis. Berbagi gagasan, pencerahan, pengetahuan, atau hal lain yang membuat hidup jadi lebih berharga dan memiliki makna merupakan keuntungan yang patut disyukuri.

Kendati demikian, tidak bisa disalahkan begitu saja ketika seseorang menulis untuk mendapat uang. Menulis adalah pekerjaan halal sepanjang dikerjakan dengan cara beradab dan muatan materi yang ditulis tidak membunuh kehidupan.

Kesadaran tersebut saya dapati selama dua minggu terakhir. Pasalnya seorang kawan tiba-tiba “memaki” saya. Ia membangunkan saya. Kawan tersebut memaki saya gara-gara gemes melihat tumpukan file tulisan di folder laptop. Bukan hanya menumpuk, kata kawan saya—file tulisan itu berjejal-jejal, memenuhi ruang hardisk karena saking banyaknya.

Mula-mula saya hanya tertawa. Tidak terima dengan sikap saya yang dianggap tidak serius, kawan saya melotot sambil berkata, “Edan kamu! File tulisan yang sangat banyak itu dibiarkan begitu saja? Dasar orang kikir!”

Waduh, dia menyebut saya kikir.

“Kikir bagaimana?” saya balik bertanya.

“Memiliki sangat banyak bahan tulisan berharga dan dibiarkan begitu saja. Mbok ya diolah, diuleg, dimodifikasi, didaurulang, atau terserah apa istilahnya, supaya lebih berharga untuk orang lain. Enggan berbagi itu apa namanya kalau bukan kikir?”

Kawan saya pamit pulang. Saya lenger-lenger sendiri. Benar apa yang dia katakan. Tumpukan file tulisan di folder itu belum termasuk beberapa buku yang pernah diterbitkan oleh yayasan pendidikan. Saya memiliki “buku lokal” cukup banyak dan dinikmati secara lokal terbatas. Ya, mengapa saya tidak memodifikasi materi-materi tulisan tersebut misalnya menjadi buku dengan format pdf? Mengapa hal ini baru terpikir setelah seorang kawan mencaci saya?

Sebenarnya ini bukan pengalaman pertama saya menulis buku. Beberapa buku seperti Celoteh Anak, Rahasia Mencerdaskan Anak, Jam Kosong beberapa buku yang “sengaja” saya tulis sesuai outline. Seiring waktu berjalan file tulisan sudah berdesak-desakan memenuhi lorong hardisk. Jujur saya katakan, Kompasiana berhasil “memprovokasi” saya mengalirkan tulisan demi tulisan—setiap hari. Inilah penyebab saya tercenung lalu memutuskan bahan tulisan yang sudah ada, baik yang pernah saya tulis di Kompasiana atau di tempat lain, akan lahir kembali menjadi karya tulis dengan format pdf.

Parenting Zaman Darurat

Maka, lahirlah kumpulan tulisan berjudul "Parenting Zaman Darurat". Tema utama kumpulan tulisan tersebut adalah parenting. Mengapa parenting? Kompasiana—dengan wadah yang luas dan isi penuh ragam—menolong saya menemukan passion tema yang benar-benar saya minati. Passion tema itu adalah pendidikan dan parenting. Walau tema tersebut tidak selalu saya kirim ke Kompasiana, menulis pendidikan dan parenting, berkat “provokasi” Kompasiana, saya jalani penuh kenikmatan dan kegembiraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun