Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Generasi Milenial dan Potensi Krisis Kebudayaan

23 Oktober 2016   00:58 Diperbarui: 23 Oktober 2016   09:28 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potensi krisis kebudayaan itu, lagi-lagi, disebabkan oleh tekstualisasi sejarah yang mencabut Bahasa Indonesia dari akarnya. Kelahiran Bahasa Indonesia dipahami sebatas peristiwa Sumpah Pemuda. Sedangkan Sumpah Pemuda itu sendiri merupakan “buah” dari akar pepohonan perjuangan yang jarang bahkan tidak pernah dikenalkan—apalagi dihayati makna dan filosofinya dalam konteks berbahasa.

Tekstualisasi sejarah melemparkan generasi milenial saat ini ke dalam pusaran hampa identitas dan jati diri sebagai warga bangsa. Mereka tidak kenal dan mengenal bahasa Melayu sebagai akar bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka gagap, gugup, terbata-bata mengeja masa depan. Menghadapi MEA pun kalang kabut.

Padahal pada 2012, Universitas Chulalongkorn, Thailand pernah melakukan penelitian dengan tema mencari bahasa resmi yang digunakan masyarakat ASEAN. Dari sisi jumlah pengguna, bahasa Melayu digunakan oleh 260 juta orang, dengan basis penutur di Indonesia, Malaysia, Brunei, sebagian Timor Leste, dan sebagian Thailand. Jumlah itu mencakup 45 persen dari seluruh warga negara anggota ASEAN. Sementara, bahasa Thailand digunakan sedikitnya 85 juta orang dengan basis pengguna Thailand, dan sebagian Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Data tersebut bukan untuk menunjukkan belajar bahasa Inggris tidak penting. Belajar bahasa asing di tengah globalisasi merupakan keharusan yang tidak dapat ditolak. Namun, mempelajari dan mendalami Bahasa Indonesia tidak boleh dikalahkan oleh alasan yang justru menunjukkan generasi milenial kita sedang ditimpa krisis kebudayaan.

Di tengah anggapan Bahasa Indonesia semakin “tidak keren”, saya sangat menikmati puisi-puisi Chairil Anwar, meminjam ungkapan Yasmin, redaktur Balai Pustaka, karena Bahasa Indonesia mendapatkan ekspresinya yang paling penuh. Ini salah satu puisi tersebut: Rumahku dari unggun timbun sajak / kaca jernih dari luar segala nampak / Kulari dari lebar gedong halaman / Aku tersesat tak dapat jalan / Kemah kudirikan ketika senja kala / Di pagi terbang entah kemana / Rumahku dari unggun timbun sajak / Di sini aku berbini dan beranak.

Ya, di sini, di bumi Nusantara, aku berbini dan beranak. []

Jagalan 231016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun