Lari kota Jakarta / Lupa kaki yang luka / Mengejek langkah kura kura / Ingin sesuatu tak ingat bebanmu / Atau itu ulahmu kota/ Ramaikan mimpi indah penghuni. -Berkacalah Jakarta, Iwan Fals
Saya tiba-tiba ingat Jakarta. Atau karena lagu Berkacalah Jakarta mengingatkan saya pada satu kota bernama Jakarta. Atau aroma Pilkada DKI 2017 makin terasa tajam. Entahlah, pokoknya saya ingin menulis tentang Jakarta.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah perkembangan kota yang tidak terkendali akan menciptakan paradoks urban, yaitu munculnya kantong-kantong kemisikinan baru. Ya, Jakarta menjadi kantong besar kemiskinan baru, tercecer di setiap sudut kota. Sebagaimana kerap dijumpai di kota-kota besar Indonesia, ketimpangan tampak begitu nyata. Ada wajah kemajuan, ada pula wajah kemunduran. Ada kehidupan di gedung-gedung tinggi, ada pula kehidupan di kolong jembatan. Apakah Jakarta atau sejumlah kota besar lainnya di Indonesia layak disebut kota berkelanjutan (suistinable city)?
Adalah Richard Register orang yang pertama kali mencetuskan ide kota berkelanjutan. Konsep tersebut dituangkan dalam buku berjudul Ecocity Berkeley: Building City for Healthy Future. Menurut Register pembangunan di sebuah kota hendaknya tidak hanya memperhatikan dan memperhitungkan sisi ekonomi saja, tetapi juga kualitas hidup manusia. Visi serupa juga dikembangkan oleh Paul F. Downtown pendiri perusahaan Ecopolis Pty Ltd.
Suistinable city menawarkan visi pembangunan kota yang memperhatikan keseimbangan harmonis antara perkembangan kota dengan perkembangan lingkungan yang diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Manusia tidak bisa melepaskan diri dari keseimbangan alam dan lingkungan. Begitu keseimbangan tersebut njomplang, selain akan memanen musibah, kualitas hidup manusia yang dibangun melalui sejumlah aspek seperti ekonomi, pendidikan, budaya akan mengalami penurunan pula.
Secara sederhana, visi kota berkelanjutan adalah menata kembali, menciptakan kembali, mengupayakan kembali berbagai aspek keseimbangan hidup di sebuah kota.
Bagaimana dengan Jakarta? KOMPAS.com menulis, Jakarta menempati posisi sepuluh terbawah dalam indeks kota berkelanjutan atau Sustainable Cities Index 2015 yang dirilis ARCADIS. Ibu kota Indonesia ini sejajar dengan Doha, Moskow, Jeddah, Riyadh, Manila, Mumbai, Wuhan, New Delhi, dan Nairobi.
Sedangkan pada 2016 Indeks kota berkelanjutan rilisan Arcadis menempatkan Jakarta, sebagai ibu kota Indonesia pada peringkat ke-88 dalam daftar tersebut.
Ada tiga sub indeks yang menjadi patokan pengukuran Arcadis, yakni People, Planet, dan Profit. Pengukuran People atau orang diukur berdasarkan kesehatan, edukasi, keseimbangan kehidupan kerja, ruang hijau di dalam kota, hingga transportasi. Pengukuran Planet melihat pada pembagian energi terbarukan, siklus daur ulang, emisi gas rumah kaca, risiko bencana alam, sanitasi, tingkat polusi udara, ketersediaan air minum, hingga konsumsi energi kota. Pengukuran Profit dilihat dari kemampuan sebuah kota dalam perspektif bisnis, kemudahan melakukan bisnis, biaya hidup, penggabungan transportasi, kepemilikan properti hingga efisiensi energi.
Jakarta beserta kota-kota berkembang lainnya hanya fokus pada keberlanjutan ekonomi (Profit), sedangkan People dan Planet terabaikan.
Pembangunan yang fokus pada keberlanjutan ekonomi (profit) membawa dampak kehidupan masyarakat perkotaan identik dengan kultur individualisme yang kuat. Ketatnya persaingan hidup melunturkan modal sosial (people). Sehingga kepedulian pada keseimbangan lingkungan (planet) bisa dipastikan lambat laun akan hilang.