Hidup di perkotaan meminjam ungkapan Jawa, koyo gabah diinteri, seperti gabah yang dipilih dan dipilah di atas tempeh. Bergerak kesana kemari, saling bertubrukan, saling bergesekan, saling menindih, tidak tahu mana utara mana selatan, kawan jadi teman, teman jadi lawan. Dari kehidupan seperti gabah diinteri itu, tidak adakah yang tersisa, khususnya di Jakarta?
Entah ini semacam anomali perilaku manusia atau anak turun bangsa Nusantara yang memiliki ketangguhan hidup, kelenturan jiwa, ketatagan hati, keunggulan genetis dibanding warga bangsa lain di dunia. Kota yang derap langkah pembangunannya belum sepenuhnya berpihak pada people dan planet, faktanya dihuni oleh warga yang merasa bahagia tinggal di ibu kota.
Hal itu terungkap dari hasil Jajak Pendapat Litbang KOMPAS terhadap 600 responden di lima wilayah Jakarta pada Juni lalu. Dari skala nilai satu untuk mewakili kondisi sangat buruk dan skor empat mewakili situasi sangat baik, responden memberikan nilai di atas tiga dalam aspek perasaan bahagia dan perasaan dihargai oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka.
Saya tidak tahu responden “sebelah mana” yang menjadi sasaran Jajak Pendapat tersebut, namun toleransi yang tinggi diantara warga Jakarta setidaknya mengikis anggapan kultur individualisme yang kerap menjadi stigma kehidupan di kota-kota besar. Tidak mengherankan toleransi itu melekat dalam hidup keseharian mengingat Jakarta selalu meramaikan mimpi indah penghuni.
Siapakah mereka? Adalah para perantau yang memiliki rasa senasib seperjuangan menyambung hidup di Jakarta. Mengutip Data Dinas Kependudukan DKI Jakarta tahun 2013-2015 menunjukkan, sebanyak rata-rata 150.000 penduduk baru datang ke Jakarta setiap tahun. Jika dirata-rata, paling tidak 400 penduduk baru per hari datang ke Jakarta.
Melihat jumlah rata-rata penduduk baru yang datang ke Jakarta cukup tinggi, dampak pemekaran kota yang tidak terstruktur (urban sprawl), sehingga kota menjadi tidak efisien dan efektif dalam melayani kehidupan di dalamnya, rasanya bukan hal yang mustahil atau bahkan tengah terjadi saat ini.
Karena itu, rasa kepercayaan antar kelompok masyarakat di Jakarta merupakan modal sosial yang tidak boleh diabaikan. Kendati demikian, hal itu bukan jaminan ketika terjadi ketidaksetaraan antarkelompok masyarakat yang melibatkan elite politik. Indeks yang dibentuk dari pendapat responden menunjukkan skor yang termasuk buruk pada aspek kepercayaan masyarakat terhadap DPRD DKI Jakarta (2,28). Responden meragukan kemampuan Dewan dalam menampung aspirasi dan membela kepentingan masyarakat. Nilai indeks tersebut tercatat paling rendah dibandingkan dengan aspek rasa percaya terhadap lembaga eksekutif (2,78), aparat kelurahan (2,81), atau tokoh masyarakat di sekitar tempat tinggal masyarakat (2,89) (Litbang KOMPAS).
Hal itu belum termasuk rasa percaya terhadap keamanan yang tergolong rendah, 2,63 dan lemahnya jaringan dan partisipasi sosial. Indeks partisipasi masyarakat Jakarta dalam kegiatan di lingkungan sekitar hanya bernilai 1,98. Merujuk pada hasil jajak pendapat tersebut, sub indeks people dan planet kota Jakarta tergolong rendah.
Jakarta tetap Jakarta. Ia kota yang menyambut pendatang dan wisatawan dengan tangan terbuka. Diantara 15 kota di dunia yang tidak ramah pada wisatawan, Jakarta tidak masuk di dalamnya. Satu kata yang mungkin tepat melukis Jakarta: kontras.
Tinggi gedung tinggi / Mewah angkuh bikin iri / Gubuk gubuk liar / Yang resah di pinggir kali / Terlihat jelas kepincangan kota ini / Tangis bocah lapar bangunkan ku dari mimpi malam. – Kontrasmu Bisu, Iwan Fals.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H