Kedua, puncak kesadaran manusia adalah tatkala ia menyadari benih-benih sejarah yang ia tanam tidak akan tumbuh dan berbuah tanpa campur tangan Tuhan. Dia mengimani, Tuhanlah yang menuntun langkah hidupnya melalui berbagai peristiwa kebetulan dalam hidup (Refleksi 85 Tahun Jakob Oetama). Makna providentia Dei yang kerap ia sampaikan itu mengurat nadi dalam penghayatan yang dalam bahwa manusia akan dipertemukan, diperjalankan, dilakonkan dalam rumusan “kebetulan”. Selebihnya, yang tak terjangkau, itulah penyelenggaraan Allah.
4.
Rindang pepohonan dan buah-buahan itu sedang kita rasakan—kini. Seperti sebuah siklus yang berkelanjutan, seperti buah mangga dan sayur-mayur yang menyehatkan, nilai dan makna kesehatan itu kita olah kembali dalam kerja internal—diantaranya dengan menuangkan gagasan melalui tulisan tentang masa depan dunia yang lebih manusiawi.
Dunia yang pasti majemuk karena kemajemukan adalah keniscayaan, sunnatullah. Dunia di mana agama, ras, suku, bahasa, bangsa tampil sebagai kenyataan mozaik kemanusiaan yang indah. Dunia di mana orang Jawa tetap dengan Jawa-nya, Sunda tetap dengan Sunda-nya, Bugis tetap dengan Bugis-nya. Dunia dimana Indonesia menjadi Indonesia. Terserah dengan bergulat dan menempuh jalan mana, yang penting perjuangan itu bermuara kepada telaga bernama Indonesia.
Karena itu, Jakob dan Ojong bersepakat koran yang mereka dirikan bukan corong partai. Koran itu harus berdiri di atas semua golongan, oleh karena itu harus bersifat umum, didasarkan pada kenyataan kemajemukan Indonesia, harus menjadi cermin realitas Indonesia, mengatasi suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya (Refleksi 85 Tahun Jakob Oetama).
“Kami ingin membangun Indonesia Kecil. Rohnya Indonesia Kecil. Semangat yang mendasari humanisme transedental,” ungkap Jakob Oetama.
5.
Pak Jakob telah menemukan "titik ordinat" kawula dan Gusti. Ungkapan: “Hidup ini seolah-olah bagai sebuah kebetulan-kebetulan, tapi bagi saya itulah providentia Dei, itulah penyelenggaraan Allah,” merefleksikan dua kesadaran yang padu. Sebagai kawula, hamba, manusia yang serba terbatas, kebesaran nama dan cerita sukses perjalanan hidup memang tak lebih dari sebuah “kebetulan”.
Tapi kebetulan itu tidak datang tiba-tiba, ujug-ujug. Di tengah proses perjalanan hidup, dengan segala jatuh bangunnya, sukses dimaknai tidak semata-mata berkat usaha pribadi. Ada campur tangan Tuhan di sana, ada penyelenggaraan Tuhan di sana. Bukankah ini sebuah kesadaran yang padu dan utuh?
Berhadapan dengan sesama manusia, kawula, insan, Pak Jakob menebar benih-benih humanisme yang mencerminkan sikap transendental sebagai pembawa “pesan” dari Tuhan dengan sifat-Nya Yang Pengasih dan Penyayang. Berhadapan dengan Sang Gusti, Pak Jakob menyelam dalam penghayatan transedental untuk membawa "humanisme bumi" dan melapor kepada Tuhan tentang misi hidupnya yang berbelarasa terhadap mereka yang lemah, tersingkir, dan menjadi korban.
Dalam gambaran sebuah pohon, akar-akar humanisme itu menghujam ke dalam perut bumi. Batang, ranting, dan daun-daun transedentalnya menjulang ke langit angkasa. Gambaran tentang manusia yang berpusat pada Ilahi.