Apakah manusia sedang menabung bencana? Saya jadi teringat tulisan tangan di pintu sekolah Taman Kanak-Kanak Gua Cina Kabupaten Malang: “Pohon bisa hidup tanpa manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa pohon.” Tulisan memakai kapur tulis di pintu triplek itu terkesan sederhana, sepele, dan pasti semua orang setuju. Namun, napas anak-anak itu terlanjur “beraroma” timbal. Anak-anak, penghuni masa depan, akan tak terbayangkan jalan terjal hidupnya tanpa pepohonan yang menaunginya. Akan tak terbayangkan tingkat kesengsaraan nasib hidupnya tanpa udara bersih yang mengelilinginya. Akan tak terbayangkan gelap masa depannya tanpa air bersih yang mengalir di sumur-sumur kediamannya.
Apa yang kita wariskan pada anak-anak bukan hanya “sepasang sepatu” dari tumpukan padang sampah yang berbau busuk, seperti yang didambakan Carmi. Kita patut curiga mengapa sopir Dalim tidak sampai hati menyerahkan sepatu sebelah kiri kepada Carmi.
“Ah, kalian tidak tahu. Masalahnya, aku tidak sampai hati melihat Carmi pada detik dia menerima sepatu ini. Carmi mungkin akan melonjak-lonjak, tertawa-tawa, atau bahkan menjerit-jerit karena begitu girang. Barangkali matanya akan berbinar-binar atau sebaliknya, berlinang-linang. Ah, hanya karena sebuah sepatu bekas yang diambil dari tempat sampah hati Carmi akan berbunga-bunga. Aku tidak akan tega menyaksikannya. Itu akan terasa amat pahit di hati. Kalian bisa tega?”
Kita hanya bisa menebak ketidaktegaan sopir Dalim. Bukan soal sepasang sepatu yang membuatnya gelisah. Satu hal pasti: Carmi dan anak-anak yang tersebar di permukaan bumi ini akan kembali sesak napasnya oleh bau busuk padang sampah. Kita para warga padang sampah tahu Carmi, Korep, Dita, Andi, Farel, Buyung, dan berjuta-juta anak lainnya tidak punya “rumah” untuk pulang.[]
Jagalan 270916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H