Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Waduh, Selfie di Tengah Lokasi Bencana!

25 September 2016   22:26 Diperbarui: 26 September 2016   11:59 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://elshinta.com/

Belum ada upaya secara mendasar dan mengakar untuk mencegah banjir bandang di sejumlah daerah yang mungkin masih dan akan berlangsung, kemudian menyadari dosa-dosa sistemik dan struktural bahwa bencana itu tidaklah hadir secara tiba-tiba, melainkan akibat tabungan dosa-dosa: sikap rakus manusia, sikap rakus kapitalisasi yang memperkosa lingkungan, sikap rakus rezim yang mabuk investasi, sikap rakus 'penguasa lokal' yang kesurupan 'jailangkung' Pendapatan Asli Daerah.

Perdebatan politik ekologi sejauh ini masih sekadar konsumsi untuk berebut kekuasaan, dan tidak selalu harus berkaitan dengan nasib dan masa depan ekologi itu sendiri.

Bagaimana peta ekologi Indonesia pada perbuahan iklim global? Dalam hasil studi yang dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) pada 2015, disebutkan bahwa perubahan iklim meningkatkan potensi banjir di dunia di masa mendatang. Pemicu utamanya adalah meluapnya sungai akibat intensitas curah hujan yang tinggi, termasuk di negara maju dan berkembang. Kota di Indonesia bersama kota-kota pesisir di Asia seperti Cina dan India, menurut media livescience.com, termasuk kota di dunia yang rawan dan jadi langganan banjir. Kota Guangzhou, Cina menempati urutan teratas. Kota di selatan Cina ini memang banyak dilalui sungai-sungai besar, termasuk Pearl River yang bermuara ke laut Cina Selatan.

Kesembronoan dan ketidakseriusan menata ekologi, seperti kesembronoan ungkapan 'Kurban Itu Mudah', bukan hanya membuat lingkungan terancam. Kita sedang menabung bencana—banjir dan tanah longsor hanya soal menunggu giliran dan waktu. Ya, menabung bencana itu mudah, tetapi teramat sulit dan berat bagi rakyat kecil yang selalu menjadi pihak yang terdampak bencana-bencana, lalu di tengah kesengsaraan itu mereka bahu membahu, tolong menolong, saling menguatkan satu sama lain, sesama rakyat kecil. Indah memang, namun, sungguh dan sekali lagi, itu bukan hal yang mudah untuk dijalani.

Novelis dari Nigeria, Chinua Achebe, mengingatkan, "Sambil kita melakukan kebaikan, jangan lupa bahwa solusi yang sebenarnya ada dalam dunia di mana sedekah tak lagi dibutuhkan." Dunia tanpa sedekah? Waduh, tidak bisa selfie berlatar belakang orang-orang susah.[]

Jagalan 250916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun