Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kopiah Maiyah: Bukan Identitas Kesucian, tapi Pengakuan Kehitaman

13 September 2016   20:28 Diperbarui: 13 September 2016   21:39 2205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengutip Buletin Maiyah Jatim (BMJ) Edisi September 2016, kalimat lengkap judul di atas, seperti pernah dilontarkan Cak Nun adalah, “Bukan untuk melaporkan kesucian, melainkan lebih sebagai pengakuan kehitaman.”

Di tengah arus pencarian publik yang bergerak menuju pengukuhan eksistensi identitas yang dikomandani semangat meng-ada, membangun citra sosial yang positif, merawat image citra diri sebagai orang mulia, sikap berpikir Maiyah justru bergerak ke arah sebaliknya. Identitas kopiah dengan warna merah di tengah dan warna putih pada bagian samping yang melingkar, diusung semata-mata untuk pengakuan ke-hitam-an sang pemakai.

Sikap merasa hitam itu memiliki dasar pijakan yang jelas: adakah nabi, rasul, manusia terkasih pilihan Tuhan mengaku dirinya putih, suci, hebat?

Bagi ‘anak-anak’ Maiyah de-eksistensi itu bukan makhluk aneh, mengingat hampir di setiap pertemuan, peng-aji-an, maiyahan, baik yang rutin maupun yang tentatif, file-file dalam otak mereka telah terinstal software berpikir misalnya, menjalani hidup di dunia tak ubahnya seperti orang menanam. Bagi seorang penanam sejati, panen di dunia bukan tujuan utama, sehingga apabila ada orang lain, sekelompok manusia, lembaga, institusi, negara, pemerintah memanen hasil tanaman kita, arek-arek Maiyah itu merasa tidak patheken. “Emplok-emploken kunu!” karena makanan sejati, panen yang sesungguhnya adalah tatkala kita menjalani hidup yang abadi.

Mohon maaf pembaca, mengapa tiba-tiba saya langsung ‘tancap gas’ di awal tulisan ini? Berburu dan menemukan simbol, identitas, citra, image di dunia membutuhkan biaya yang mahal. Jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini, menurut laporan Bank Dunia pada 2010 lalu, sekitar 56,5 % dari total jumlah populasi. Dari penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta (Sensus 2010), kelas menengah yang menghabiskan uang untuk pengeluaran sehari, mulai 2 dolar AS (sekitar Rp.18.000) hingga 20 dolar AS (sekitar Rp. 180.000), tercatat tidak kurang dari 134 juta orang.

Pengeluaran belanja yang fantastis. Pada 2010 belanja biaya transportasi menempati jumlah pengeluaran tertinggi, yakni sebesar Rp. 283,6 triliun, disusul belanja rumah tangga dan jasa Rp. 194,4 triliun, belanja pakaian dan alas kaki Rp. 113,4 triliun, belanja di luar negeri Rp. 50 triliun.

Budaya konsumtif itu selain untuk memenuhi nafsu belanja juga untuk melengkapi dorongan akan nilai-nilai simbol dan ikon modern—dua unsur pembentuk gaya hidup dan status sosial. Belanja pakaian dan alas kaki misalnya, bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar terhadap fungsi pakaian dan alas kaki, melainkan didorong oleh keinginan memuaskan kebutuhan terhadap simbol, ikon, brand, citra, kesan, khayalan tentang gaya hidup modern.

Nilai guna barang sebagai nilai dasar kebutuhan tergeser, tertutupi, terhijab oleh nilai simbolik yang menawarkan dan melaporkan ‘kesucian’, kecerdasan, kemuliaan mereka yang mengenakannya. Pabrik-pabrik modernisme cukup rajin memproduksi simbol-simbol itu, lalu mengampanyekan, membentuk pola kesadaran berpikir, menampilkan keinginan berwajah kebutuhan, seraya membisikkan rasa was-was kepada siapa saja yang tidak bergabung dalam arus simbolisme takhayul itu akan terlempar ke pojok sepi ruang budaya yang ketinggalan zaman.

Survei Litbang Kompas yang dilakukan Maret-April 2012 memperlihatkan, semakin tinggi kelas sosial, semakin banyak mereka mengoleksi semua ornamen dan aktivitas gaya hidup. Di satu sisi, masyarakat berlomba menaikkan citra kelasnya dengan berusaha mengadopsi gaya hidup konsumerisme. Di sisi lain, mereka cenderung menanggalkan nilai-nilai demokrasi dan kembali menarik bandul politik ke arah otoritarianisme, demikian catatan KOMPAS.com, dalam Makin Konsumtif, Makin Konservatif

Kelas menengah yang sedang berlomba menaikkan citra kelasnya itu bahkan tidak segan berburu pakaian bekas. Yang dicari adalah pakaian branded walaupun harus dibeli dengan harga yang cukup mahal. Mereka membeli citra, ornamen, simbol modernitas untuk meneguhkan eksistensi di tengah masyarakat dan komunitas pergaulan. Tidak heran apabila pakaian (fashion),  kendaraan, dan rumah tinggal, dijadikan ornamen simbol yang menegaskan status sosial pemiliknya.

Namun sayangnya, kelas menengah itu terkesan ‘memaksa diri’ agar bisa merangkak menggapai tangga yang lebih tinggi. Hal ini dicermati dari komposisi penghuni kelas menengah yang tadinya berasal dari kelas bawah, turunnya sejumlah kalangan dari menengah atas dan kalangan atas. Strata sosial secara ekonomi pun belum cukup kuat. Pendidikan rata-rata setingkat SMA dengan penghasilan sekitar 1,9 juta dan pengeluaran Rp. 750.000 – Rp. 1,9 juta per bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun