Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kopiah Maiyah: Bukan Identitas Kesucian, tapi Pengakuan Kehitaman

13 September 2016   20:28 Diperbarui: 13 September 2016   21:39 2205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lantas apa yang terjadi? 28% masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami defisit penghasilan karena utang yang digunakan untuk konsumerisme, ungkap hasil Riset Share of Walletyang dilakukan Kadence International-Indonesia pada 2013 lalu. Dengan penghasilan Rp. 4,3 juta per bulan, pengeluaran mereka bisa mencapai Rp. 5,8 juta. Terjadi defisit sebesar Rp. 1,5 juta. Mereka sengaja ingin menaikkan status dan tampil sebagai upper class—dengan cara berhutang—untuk membeli barang yang menyuarakan ornamen dan status sosial yang dicita-citakan itu.

Mereka yang mengalami defisit pendapatan itu tergolong kelas menengah broke, yakni pengeluaran lebih besar dari pendapatan sehingga mengalami defisit hingga 35 % dari penghasilan.

Semua itu tidak terlepas bagaimana manusia memandang hidup, menyikapi hidup, menjalani hidup. Sukses yang dimaknai dengan ‘keberhasilan’ menampilkan simbol dan ornamen paling mutakhir itu tak ubahnya mengejar bayangan sendiri. Sebuah takhayul berbiaya mahal.

Arek-arek yang memakai kopiah Maiyah pada dasarnya sedang berproses secara terus-menerus menggugat kemapanan itu: kemapanan berpikir, kemapanan makna sukses, kemapanan menyikapi hidup, kemapanan hakekat kaya—dengan bertindak ‘kejam’ dan mentolo kepada diri sendiri. Selain dalam rangka meneguhkan kebenaran hari ini belum tentu menjadi kebenaran esok hari, juga disebabkan arek-arek Maiyah tidak memiliki modal yang cukup untuk bergaya dan tampil perlente. 

Mereka manusia biasa, berpakaian dan berpenampilan biasa-biasa saja, makan minum di warung yang biasa-biasa saja, tidak dibebani tugas mencitra-citrakan diri sebagai orang yang gembagus. Sembari menunggu siapa tahu ada teman mengajak ngopi gratis di warung sebelah.

Arek-arek itu terlanjur sibuk 'belajar dari' agar lulus menjadi manusia sehingga terlewat waktu dan kesadarannya untuk sekadar mencitrakan diri: ben diarani, ben disangka, ben dikira, ben diduga, atau sejumlah ben-ben lain yang berpusat pada aku, bukan pada-Nya.  Kopiah Maiyah setidaknya merefleksikan itu semua. []

Jagalan 130916

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun