Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jalan Kaki untuk Menyalakan Mesin Kreativitas

5 September 2016   22:56 Diperbarui: 6 September 2016   18:44 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki yang dipanggil “Ril” itu

sekarang berjalan cepat sekali

seolah mau berpacu dengan angin.

Dia berada di atas rel kereta ketika itu,

dan di wajahnya, di matanya, tersembunyi

kepedihan yang tidak tertahankan.

Itulah sepengal skenario “Aku”, Chairil Anawar, yang ditulis Sjuman Djaya. Adegan yang menggambarkan kepedihan setelah Chairil menerima kabar kematian neneknya. Dari narasi di atas bisa kita bayangkan Chairil berjalan cepat sekali, menyusuri rel kereta, dengan pemandangan yang khas daerah pinggiran kota. Kumuh.

Berjalan seraya memendam kepedihan yang tidak tertahankan. Ya, Chairil berjalan cepat, bukan berlari. Berjalan—cara manusia kreatif menemukan, mengolah, memendam, memancing keluar ide, gagasan, ilham. Chairil bahkan merasakan gelegak kepedihan itu dengan berjalan.

Membaca Daur, 'serial' tulisan Cak Nun akan kita jumpai kisah 'perjalanan' pula. Berjalan dan perjalanan Markesot menggapai cakrawala, menggali bumi, menyapa langit, menyelam ke kedalaman diri, merenungi kehancuran peradaban. Dalam Daur 77, Hidup Mati Berulang Kali, dinarasikan, “Ternyata Markesot sedang berjalan kaki menyusuri rel kereta api. Lurus, jauh, seakan berujung di cakrawala.Terutama sepanjang malam hari. Pada siang hari, ia terus berjalan hanya jika kiri kanannya sepi.”  

Bersama dengan Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro, Cak Nun sering kali diajak melakukan isro’, berjalan pada malam hari. "Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kost saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap, berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki. Atau duduk saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat sekolah," kenang Cak Nun dalam “Presiden Malioboro”.

Ada apa dengan aktivitas berjalan kaki? Konon 2000 tahun yang lalu orang Yunani kuno adalah pejalan kaki sekaligus pemikir yang tangguh. Mereka berjalan kaki dengan berolah pikir dan berfalsafah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun