Walaupun tidak dalam rangka berfalsafah saya pernah berjalan kaki bersama Arif Wibisono, sahabat saya, seorang penggiat dan sutradara teater tahun 95-an di Malang. Berjalan kaki dari pasar Dinoyo menuju Kotalama, menjelang dinihari. Berbagai tema pembicaraan sembari menyusuri gang-gang kecil kota Malang tak habis kami diskusikan.
Cerita tentang masa lalu kehidupan tokoh dan ulama meluncur dari bibir sahabat saya. Salah satu cerita yang berkesan di benak saya adalah kisah Syaikhuna Kholil Bangkalan, guru para kyai di nusantara. Kisah karomah Mbah Kholil Bangkalan yang sudah terlihat sejak kecil itu benar-benar memukau saya. Mengendap di alam bawah sadar cukup lama, namun gambaran imaji saya tentang kisah itu bertahan hingga sekarang.
Sejak pertama kali mendengar kisah Mbah Kholil dari sahabat saya tahun 95-an, pada tahun 2001 imaji kisah Mbah Kholil saya tulis dalam cerita pendek berjudul "Nyunggi" dan masuk dalam antologi Merajut Cahaya: Kumpulan Cerpen Annida yang dipublikasikan September 2001. Sebuah berkah dari berjalan kaki.
Waktu itu berjalan berpuluh-puluh kilometer capek juga saya rasakan, namun pikiran dan batin yang tercerahkan seakan mengusir rasa lelah. Usai shubuh saya harus kembali beraktivitas di pondokan lalu kembali berjalan kaki sekitar 3 km menuju pertigaan pabrik rokok Bentoel untuk nyegat angkot.
Adalah Dr Marily Oppezzo melakukan serangkaian penelitian kreativitas. Responden diminta bermain kata-kata sambil berjalan kaki dan duduk. Hasilnya responden yang berjalan kaki berhasil menemukan ide dua kali lebih banyak saat berjalan.
“Banyak anekdot berbunyi: orang menemukan pemikiran yang terbaik saat berjalan. Dengan studi ini, kita mungkin akhirnya menemukan sebuah alasan,” kata Dr Marily Oppezzo, peneliti dari Santa Clara University, California, seperti dikutip Intisari-online.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory and Cognition itu menunjukkan pejalan kaki memiliki tingkat kreativitas yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang sering duduk.
Hasil penelitian Dr Oppezzo sejalan dengan kebiasaan penulis kreatif seperti Henry David Thoreau, Virginia Woolf, Charles Dickens, William Wordsworth, atau Thomas De Quincey. Mereka adalah pejalan kaki yang rajin.
Berburu ide menulis tidak selamanya sambil duduk melamun. Selain rajin membaca buku untuk memasukkan 'bahan mentah' gagasan, kita perlu mengolahnya menjadi pantulan-patulan inspirasi yang tiba-tiba saja nongol saat sedang berjalan kaki. Dengan demikian ada dua aktivitas yang sedang kita tempuh selama berjalan, yaitu jalan kaki itu sendiri sebagai aktivitas fisik dan berjalan secara mental sebagai aktivitas batiniah yang darinya mendadak muncul ide atau gagasan menulis.
Tidak mengherankan banyak penulis kreatif gemar melakukan traveling. Selama di perjalanan dunia ide dan gagasan membuka pintu gerbangnya. Bertemu dengan warga setempat, tradisi, alam lingkungan dengan aromanya yang khas, semua itu bagaikan sumber mata air yang tidak boleh disia-siakan. Kita harus mengikatnya, kita harus mencatatnya, karena sekelebat gagasan tidak akan pernah kembali pulang.
Akhirnya, mari rajin berjalan kaki. Selain menyehatkan jasmani, jalan kaki akan menggerakkan 'onderdil' kreativitas. Namun, pengalaman saya berjalan kaki dari pasar Dinoyo menuju Kotalama Malang, sejujurnya, bukan untuk kemewahan kreativitas. Saya dan Arif Wibisono sedang tidak punya ongkos untuk naik angkot. []