Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendambakan Sekolah dengan Sentuhan Personal

2 September 2016   10:19 Diperbarui: 3 September 2016   01:36 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itu baru urusan kegiatan ekstra yang diidentikkan dengan bakat dan minat siswa di luar mata pelajaran. Lalu bagaimana pula dengan personalisasi belajar pada bidang mata pelajaran? Cukup banyak pernak-pernik, lipatan-lipatan, gejala-gejala, harapan-harapan baik teknis maupun non teknis per individu siswa yang dipangkas dan terabaikan dalam proses pembelajaran.

“Setiap murid adalah individu unik dengan harapan, bakat, kecemasan, gairah, dan aspirasi masing-masing. Menghadapi mereka sebagai individu adalah kunci peningkatan pencapaian,” ungkap Ken Robinson dalam buku Creative School.

Lebih jauh lagi, apakah proses pembelajaran di sekolah telah memperhatikan, mempertimbangkan, mengakomodasi, melejitkan, memberangkatkan diri dari personalisasi fitrah siswa sebagai manusia? Mengapa kegiatan belajar terkesan hanya “begitu-begitu” saja dan berlangsung “begitu-begitu” saja? Sedangkan setiap individu bukan sekadar makhluk yang hanya “begitu-begitu” saja? Mengutip ungkapan Chris Weller, guru cukup melayani “mereka yang ada di tengah-tengah”, ya mereka yang “begitu-begitu” saja itu?

Personalisasi menjadi kunci perbaikan mutu pendidikan. Selain kenyataan filosofis bahwa setiap individu itu unik bersama keunikan masing-masing,rata-rata mata pelajaran membaca, bahasa, matematika, sains, dan ilmu-ilmu sosial siswa sekolah formal tidak lebih tinggi daripada mereka yang menerima sentuhan belajar secara personal di sekolah rumah.

California Achievement Test, Iowa Tests of Basic Skills, dan Stanford Achievement Test pada tahun akademik 2007/2008 yang diikuti siswa sekolah umum rata-rata 50, sedangkan sekolah rumah yang mengembangkan sentuhan personal mencapai rata-rata 89.

Laporan yang dirilis pada tahun 2009 itu bukan menunjukkan prestasi akademik semata. Lebih jauh lagi, pembelajaran yang mengedepankan personalisasi siswa—seperti yang ditunjukkan oleh pendidikan rumah misalnya—layak dijadikan pilihan. Bagi kawan-kawan pemerhati, penggiat, dan pelaku pendidikan rumah, sekolah bukan satu-satunya wadah belajar. Apalagi budaya, adat istiadat, dan kekayaan alam yang beraneka ragam di bumi nusantara ini tidak mungkin dikemas dalam satu ruangan kelas yang terbatas.

Lagi-lagi personalisasi yang memanfaatkan keanekaragamaan itu “bertabrakan” dengan standarisasi yang ditetapkan pemerintah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 129 tahun 2014 menyatakan bahwa sekolah rumah mesti mengacu kepada kurikulum nasional dan para peserta berhak mendapatkan ijazah resmi serta melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk lembaga-lembaga pendidikan formal, setelah lulus dari ujian kesetaraan yang distandarisasi oleh negara (Paket A setara SD, B setara SMP, dan C setara SMA).

Atau pendidikan di negeri ini diarsiteki oleh stereotip-stereotip yang saling bertabrakan? []

Jagalan 020916

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun