Entah disadari atau tidak, sekolah sedang dibanjiri oleh para generasi milenial. Mereka yang lahir di atas tahun 1980 memiliki sikap dan cara berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Pew Research Centre, dalam salah satu risetnya menyebut generasi milenial sebagai generasi yang percaya diri, ekspresif, liberal, bersemangat, dan terbuka pada tantangan.
Berdasarkan survei Connecting with the Millennials yang dilakukan Visa pada 2011, diperkirakan Indonesia memiliki 5,1 juta penduduk milenial. Saat ini generasi milenial sedang bergerak menguasai angkatan kerja. Pada 2014 diperkirakan generasi milenial menguasi 45 % pasaran dunia kerja. Akan terus meningkat jumlahnya pada tahun-tahun mendatang.
Dapat dipastikan, selain mereka yang memadati ruang-ruang kebutuhan dunia kerja, saat ini generasi milenial sedang memenuhi ruang-ruang kelas pembelajaran di sekolah. Mereka adalah generasi yang 75 persen aktif di media sosial. Adapun generasi sebelumnya yang berumur 30 sampai 45 tahun hanya sekitar 50 persen yang memiliki media sosial.
Sekolah menjadi lingkungan pembelajaran yang mempertemukan dua generasi berbeda. Mereka adalah Generasi X, lahir tahun 1965 – 1980 dan Generasi Milenial, lahir setelah tahun 1980. Dua generasi yang hampir berbeda dalam segala hal, termasuk memandang dunia maya.
Dunia maya dan media sosial menjadi dunia yang mengasyikkan bagi generasi milenial. Dunia maya bukanlah dunia 'maya'—ia hadir sebagai dunia 'nyata'. Berbeda dengan Generasi X dan generasi sebelumnya yang masih beranggapan dunia maya adalah dunia yang benar-benar 'maya'. Dunia maya dipandang dengan 'sikap curiga' dan 'penuh waspada', kadang dengan takaran berlebihan.
Dua arus perbedaan generasi itu lantas bertemu dalam satu ruang pembelajaran, menjalin interaksi komunikasi, menggagas ide-ide pembelajaran. Bisa dibayangkan, 'benturan kebudayaan'Â tak bisa dihindarkan.
'Benturan' itu telah terjadi di perusahaan-perusahaan. Generasi milenial dinilai memiliki etos kerja yang buruk. Universitas Bentley melakukan survei terkait etos kerja, hasilnya 66 persen menyatakan mereka susah diatur. Adapun untuk sikap kerja 51 persen responden menyatakan generasi milenial kurang memiliki rasa hormat kepada kolega.
Bagaimana generasi milenial menanggapi pengalaman itu? Dari survei yang sama, 66 persen mereka merasa disalahpahami oleh para seniornya.
Walaupun semua itu berlangsung dalam dunia kerja di perusahaan, sekolah tidak boleh merasa aman dan bersikap tenang-tenang saja. Justru hasil survei tersebut menunjukkan fakta bahwa sekolah sedang berhadapan dengan generasi yang sama sekali berbeda. Guru dan warga sekolah perlu mempelajari karakter siswa generasi milenial untuk menghindari benturan atau konflik.
Tenaga pengajar di sekolah yang didominasi oleh Generasi X—dengan berbagai latar pengalaman budaya yang berbeda, dengan minimnya penguasaan teknologi, dengan cara berpikir yang kalah cepat dalam merespon laju perkembangan arus informasi dan teknologi dibanding generasi milenial, dengan pola pendidikan yang kerap terjebak dalam kurungan mainstream dan miskin inovasi—mereka bukan hanya akan menjadi sosok pendidik yang menjemukan, bahkan dikhawatirkan mereka menghambat tumbuhnya potensi siswa.
Tidak sedikit guru dan orangtua justru mengeluhkan perilaku anak-anak generasi milenial. Mereka kerap dituding sebagai generasi yang manja, motivasi belajar yang rendah, sampai terlalu banyak menghabiskan waktu di depan televisi atau ponsel pintar. Labeling negatif disematkan. Mereka adalah generasi galau, labil, tidak konsisten. Pasalnya, anak-anak itu sering tidak betah berdiam di suatu tempat dalam rentang waktu cukup lama serta sering berpindah-pindah hobi.