Heboh program full day school yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, nampaknya belum akan reda. Muhadjir mengakui ia akan membatalkan gagasannya apabila masyarakat keberatan.
"Jika memang belum dapat dilaksanakan, saya akan menarik rencana itu dan mencari pendekatan lain," kata Muhadjir dalam konferensi pers di restoran Batik Kuring, Jakarta, 9 Agustus 2016. "Masyarakat harus mengkritik gagasan ini, jangan keputusan sudah saya buat kemudian merasa tidak cocok." (tempo.co)
Menarik untuk dicermati adalah gagasan sekolah sehari penuh yang dilontarkan kepada publik itu, menurut Muhadjir, telah sukses dilaksanakan di beberapa negara, termasuk Finlandia. Muhadjir pun menggulirkan gagasan sekolah sehari penuh itu untuk merespon permintaan Presiden Jokowi akan pentingnya pendidikan karakter sejak pendidikan dasar. Model sekolah yang dijadikan acuan adalah “penerapan” full day school di Finlandia. Benarkan Finlandia menerapkan sistem full day school? Monggo dipelajari dan dikaji sendiri.
Tidak masalah Mendikbud terinpirasi oleh negara manapun. Namun, mengadopsi satu aspek penyelenggaraan pendidikan dari negara lain tanpa mempelajarinya secara serius apalagi tidak diikuti oleh riset yang serius dan mendalam adalah sikap sembrono yang fatal.
Kita pernah mengalami “demam” model pendidikan Finlandia. Hampir semua tokoh, akademisi, penggiat pendidikan merasa sangat terinspirasi oleh perjalanan Finlandia membangun kualitas pendidikan. Lalu demam Finlandia itu perlahan “sembuh” dengan sendirinya, tanpa diikuti kajian mendalam dan implementasi serius.
Perlu dikoreksi secara cermat apabila menggagas model pendidikan adalah tugas politisi dan penguasa. Bukankah Finlandia tidak pernah melalukan hal itu? Keterlibatan masyarakat sipil menempati peran penting dalam melahirkan “sekolah baru”. Asosiasi Guru Sekolah Asosiasi Guru Sekolah Dasar Finlandia (Finnish Primary School Teachers Association, FPSTA), berkontribusi penuh dalam meningkatkan persamaan dan keadilan sosial dalam masyarakat Finlandia melalu sistem pendidikan yang lebih berkeadilan.
Prinsipnya, semua pihak: politisi, penguasa, akademisi, organisasi masyarakat, pengusaha, duduk bersama untuk memberikan kontribusi gagasan, mendefinisikan sistem pembelajaran di sekolah.
Mengadopsi model sekolah di sebuah negara secara sepihak untuk diimplementasikan pada pendidikan nasional bukan hanya terkesan tambal sulam bahkan hal itu menunjukkan pendidikan kita bergerak tanpa visi dan arah yang jelas. Bangunan model pendidikan tanpa pondasi yang kokoh.
Maka, kita perlu mengkaji kembali landasan pendidikan seperti dicontohkan Ki Hadjar Dewantara. Dalam hal ini, sikap mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan, terkesan lebih nasionalis dan humanis. Anies tidak terpukau begitu saja oleh reformasi pendidikan di beberapa negara, termasuk Finlandia. “Ironis ketika negara lain menerapkan prinsip-prindip pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang ditulis puluhan tahun lalu dan sukses meningkatkan kinerja pendidikan mereka, saat kita sendiri makin terasing dari pemikiran-pemikirannya,” ungkap Anies.
Gerakan full day school walaupun masih berupa gagasan cukup bagi kita sebagai bukti bahwa sebagai bangsa yang besar kita tidak kunjung memahami akar atau pondasi pendidikan nasional. Pendidikan nasional kita seperti pendekar mabuk yang sempoyongan kesana kemari. Keragaman budaya, fakta kehidupan sosial masyarakat, pernik-pernik kekayaan adat istiadat, kearifan budaya lokal, semua itu tidak pernah menjadi pijakan untuk merumuskan sistem pembelajaran yang khas bagi sekolah di Indonesia.
Penguasa dan para politisi pandai menemukan persoalan tapi gagap menemukan solusi yang adil dan beradab.