Saya benar-benar tidak mudeng dengan jalan pikiran kawan saya. Yang saya tahu di beberapa negara hari pertama sekolah diadakan menurut tradisi tertentu (kemdikbud.go.id). Di Rusia hari pertama sekolah dikenal dengan tradisi lonceng pertama. Ritual masuk hari pertama sekolah di Rusia bisa dilacak akar tradisinya.
Selandia Baru memulai hari pertama sekolah bulan Februari. Upacara penyambutan siswa baru didasarkan pada tradisi suku Maori yang dikenal dengan Powhiri. Guru meneriakkan kalimat selamat datang. Kakak kelas menyambut adik kelasnya dengan tarian yang menggelorakan semangat belajar di sekolah.
Bisa dibayangkan, alangkah bermakna penyambutan siswa baru di hari pertama sekolah diselenggarakan sesuai adat istiadat daerah tempat sekolah berada. Tidak harus seragam dan tidak perlu diseragamkan. Biarlah kepala sekolah, guru, dan orangtua (warga masyarakat) berembug dan bersepakat. Alih-alih menggagas kebiasaan atau gerakan baru, mengapa menyambut hari pertama sekolah tidak diselenggarakan sesuai adat istiadat atau tradisi dimana siswa bertempat tinggal?
Tema sentral gerakan secara nasional cukup satu yakni hari pertama sekolah, namun isi dan bentuk kegiatannya beragam sesuai keragaman adat istiadat dan suku budaya nusantara. Tidak harus penuh gebyar, cukup sederhana dan bersahaja saja.
Mengenalkan tradisi dan adat istiadat daerah setempat, mewariskan kearifan lokal kepada siswa, mengetahui sangkan paran sebagai bangsa, dan semua mutiara masa lalu itu diproyeksikan untuk menggambar masa depan. Kemana arah sukses hendak diraih, dipedomani oleh kearifan masa lalu. Siswa pun tidak merasa asing dengan budaya, potensi, dan keunggulan bangsanya.
Globalisasi tidak melindas siswa karena sejak awal pemegang otoritas pendidikan telah mengeluarkan regulasi untuk memperkuat identitas bangsa. Menurut Cheng (2002) inilah model teori globalisasi yang dikenal sebagai teori pohon (theory of tree). Teori ini mengasumsikan bahwa local knowledge, termasuk nilai dan tradisi, akan menjadi sumber transformasi (global knowledge system).
Lebih jauh, desain kurikulum nasional bisa menjadikan local knowledgesebagai basis transformasi globalisasi. Global knowledge diseleksi berdasarkan kebutuhan siswa (masyarakat), bukan untuk kebutuhan dunia luar yang justru mengikis identitas bangsa.
Pembelajaran hari pertama sekolah yang didesain berbasis local knowledge seakan menandai penerapan context based. Siswa mempelajari apa yang dialaminya (ke-kini-an) di lingkungan sekitarnya tanpa kehilangan universalitas cakrawala ilmu dan pengetahuan.
Centre for the Use of Research and Evidence in Education (CUREE) di Inggris menampilkan hasil survei cukup menarik. Proses belajar yang menerapkan context-based menjadi lebih efektif. Minat belajar siswa meningkat karena materi belajar dihubungkan dengan pengalaman keseharian, termasuk menghubungkannya dalam jalinan siswa, orangtua, guru. Kepiawaian siswa menjadi bagian dari solusi atas permasalahan di lingkungannya menjadi terasah.
Siswa belajar dari realitas dan hal-hal aktual yang terjadi atau dijumpai di sekelilingnya. Tidak lupa pula belajar dari realitas masa lalu yang telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar.
“Anak-anak yang tidak mengenal jati diri ibunya akan kualat jadi batu. Keras hatinya, mudah marah, suka tawur, gemar korupsi…,” ungkap kawan saya.